PPATK Sebut Transaksi Judol Anjlok 70% Setelah Blokir Rekening Dormant
PPATK atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat total deposit judi online alias judol anjlok lebih dari 70% pada April – Juni, setelah instansi memblokir rekening terindikasi, termasuk dormant.
“Setelah PPATK memblokir rekening terindikasi judol, total deposit judi online selama April – Juni anjlok lebih dari 70% dari sebelumnya Rp 5 triliun lebih, kini hanya tersisa Rp 1 triliun lebih,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana melalui akun Instagram @ppatk_indonesia, Sabtu (2/8).
Berikut data frekuensi transaksi judol, menurut data PPATK:
Sementara itu, data nilai judi online sebagai berikut:
“Ini bukan sekadar angka. Ini bukti nyata bahwa pemblokiran efektif menekan aliran dana haram,” Ivan menambahkan. “Penurunan signifikan ini menunjukkan pelaku kesulitan mengakses dana untuk berjudi.”
Ivan menyampaikan judi online bukan sekadar permainan. Judol bisa membawa dampak negatif seperti konflik rumah tangga, usaha bangkrut, terjerat pinjaman online alias pinjol ilegal hingga kehilangan nyawa.
Ia memastikan dana nasabah aman meski ada pemblokiran rekening dormant atau yang tidak aktif. “Rekening 100% aman dan bisa dipergunakan kembali,” kata dia.
Ivan mengatakan pembekuan rekening dormant juga berangkat dari temuan atas berbagai praktik ilegal seperti jual beli rekening, peretasan, dan penyalahgunaan data nasabah.
“Rekening nasabah diperjualbelikan, diretas, dana diambil dan hilang, penyalahgunaan rekening tanpa hak. Semua itu dilakukan untuk kepentingan ilegal,” ujar Ivan kepada Katadata.co.id, Rabu (30/7).
PPATK mencatat, terdapat lebih dari 140 ribu rekening dormant yang tidak aktif selama lebih dari 10 tahun, dengan nilai total dana mencapai Rp 428,61 miliar. Rekening-rekening ini belum mengalami pembaruan data nasabah, sehingga rentan disalahgunakan.
Sejak 2020, PPATK menganalisis lebih dari satu juta rekening yang diduga terlibat tindak pidana. Dari jumlah itu, lebih dari 150 ribu merupakan rekening nominee, yakni rekening atas nama orang lain yang diperoleh melalui jual beli rekening, peretasan, atau cara lain yang melawan hukum.
Selain itu, PPATK menemukan lebih dari 50 ribu rekening dormant yang tiba-tiba menerima aliran dana mencurigakan, meski sebelumnya tidak menunjukkan aktivitas apa pun.
Rekening-rekening itu kemudian digunakan untuk menampung dana hasil tindak pidana dan menjadi tidak aktif alias dormant. Lebih dari 50 ribu rekening di antaranya tercatat tidak memiliki aktivitas transaksi sebelum menerima aliran dana ilegal.
PPATK juga menemukan lebih dari 10 juta rekening penerima bantuan sosial alias bansos yang tidak pernah digunakan selama lebih dari tiga tahun. Dana bansos Rp 2,1 triliun hanya mengendap, mengindikasikan bahwa penyaluran belum tepat sasaran.
Usai rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 10 Juli, Ivan mengungkapkan ratusan Nomor Induk Kependudukan alias NIK penerima bansos tercatat terlibat dalam berbagai tindak kejahatan, mulai dari korupsi, peredaran narkotika hingga pendanaan terorisme.
"Ternyata ada juga NIK yang terkait dengan tindak pidana korupsi, bahkan ada yang terkait pendanaan terorisme. Lebih dari 100 orang teridentifikasi terlibat dalam kegiatan pembiayaan terorisme," kata Ivan pada 10 Juli.
Ivan menyampaikan bahwa temuan itu merupakan hasil pencocokan data NIK penerima bansos yang diterima dari Kementerian Sosial dengan transaksi keuangan di salah satu bank BUMN.
"Kami cocokkan NIK dari Kemensos dengan data transaksi terkait judi online, korupsi, dan pendanaan terorisme. Hasilnya, banyak penerima bansos yang ternyata juga aktif dalam aktivitas ilegal tersebut," ujarnya.
PPATK juga sebelumnya mengumumkan sebanyak 571.410 NIK penerima bansos terdeteksi sebagai pemain judi online sepanjang 2024, dengan total deposit mencapai Rp 957 miliar dari 7,5 juta transaksi.
Ivan mengatakan temuan itu baru berasal dari satu bank BUMN. "Masih ada empat bank lagi yang akan kami cocokkan," ujarnya.
Selain itu, PPATK menemukan lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang dinyatakan dormant, dengan total dana Rp 500 miliar. Padahal secara fungsi, rekening ini seharusnya aktif dan terpantau.
Blokir Rekening Dormant untuk Pengamanan, Bukan Penyitaan
Dalam analisis lima tahun terakhir, PPATK menemukan maraknya penyalahgunaan rekening dormant tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Rekening-rekening tersebut kerap digunakan untuk menampung dana hasil tindak pidana, seperti jual beli rekening, peretasan, penggunaan nominee sebagai rekening penampungan, transaksi narkotika, korupsi, dan kejahatan lainnya.
Dana dalam rekening dormant juga kerap diambil secara melawan hukum, baik oleh pihak internal bank maupun pihak lain, terutama pada rekening yang tidak pernah diperbarui datanya oleh nasabah.
Sebagai langkah preventif, PPATK menghentikan sementara transaksi pada rekening-rekening dormant. Kebijakan ini dilakukan pada 15 Mei untuk mencegah potensi penyalahgunaan dana.
Pemblokiran dilakukan semata-mata sebagai langkah pengamanan, bukan penyitaan. “Hak pemilik rekening tidak hilang atas dananya. Hanya saja, rekening sedang diproteksi dari potensi penyimpangan oleh pihak lain,” kata Ivan.
Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK M Natsir Kongah menyampaikan pemblokiran dilakukan karena rekening-rekening dormant tidak menunjukkan aktivitas transaksi dalam jangka waktu lama, sesuai kebijakan masing-masing bank.
“Hal ini jika didiamkan akan memberikan dampak buruk bagi ekonomi Indonesia, serta merugikan kepentingan pemilik sah dari rekening tersebut,” kata Natsir di Jakarta, pada Rabu (30/7).
Ia memastikan dana nasabah tetap aman dan tidak akan hilang. Langkah ini justru bertujuan melindungi nasabah dan sistem keuangan nasional dari potensi kejahatan.
“Tujuan utamanya adalah mendorong bank dan pemilik rekening untuk melakukan verifikasi ulang dan memastikan rekening serta hak atau kepentingan nasabah terlindungi,” kata dia.
“Ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan lainnya yang akan merugikan kepentingan masyarakat atau bahkan perekonomian Indonesia secara umum,” ujar Natsir.


