Masih Mandek, Anggota DPR Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Lebih dari 15 tahun dibahas, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat belum juga disahkan. Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi DPR I Nyoman Parta, menegaskan bahwa penundaan ini berpotensi memperparah konflik agraria di Indonesia.
“Kekhawatiran yang muncul adalah lahirnya feodalisme baru. Ada raja-raja kecil yang berhadapan dengan modal, serta anggapan bahwa tanah komunal akan menghambat pembangunan. Namun negara harus hadir dengan regulasi yang jelas, karena semakin lama UU ini tertunda, konflik akan terus terjadi,” ujar Parta dalam pernyataan resmi, Rabu (27/8).
Nyoman menekankan bahwa RUU ini tidak hanya urusan administratif, tetapi menyangkut eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Frasa “mengakui dan menghormati” dalam UUD 1945 harus dimaknai secara luas, termasuk hak tradisional, hak asal-usul, serta susunan asli masyarakat adat.
Hal ini mencakup hak atas tanah dan sumber daya alam, hak mengatur kehidupan sosial dan budaya, hak mempertahankan serta mengembangkan adat, hak menjalankan ritual, hingga hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
“Dengan demikian, pengesahan RUU MA bukan hanya soal kepastian hukum, tetapi juga bentuk kehadiran negara dalam melindungi martabat dan ruang hidup masyarakat adat di tengah derasnya arus investasi dan pembangunan,” ujarnya.
Sejumlah anggota DPR lainnya, seperti Mercy Barends dari Fraksi PDIP, menekankan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar pilihan politik, melainkan mandat konstitusi yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Hambatan terbesar menurut Mercy bukan terletak pada teknis administrasi, melainkan tarik-menarik kepentingan antar-kementerian dan dominasi investasi yang sering mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.
“Masyarakat adat adalah benteng terakhir hutan, gunung, pesisir, dan pulau-pulau kecil kita. Tanpa mereka, ruang hidup kita akan tercerabut,” kata Mercy.
Ia menambahkan, resistensi antar-kementerian menjadi faktor paling pelik yang menghambat pengesahan RUU ini, karena setiap sektor, seperti sumber daya alam, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, hingga agraria memiliki kepentingan yang melekat pada pendapatan negara.
Lima Faktor Penghambat RUU Masyarakat Adat
Mercy merinci lima faktor penghambat RUU Masyarakat Adat yaitu faktor politik, tarik-menarik kepentingan fraksi, faktor ekonomi, faktor hukum dan regulasi, faktor sosial-budaya, dan faktor teknis.
Pandangan serupa disampaikan akademisi. Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan Catharina Dewi Wulansari, mengingatkan bahwa hak ulayat dan hak komunal tidak bisa dipandang semata sebagai urusan tanah.
“Ketika tanah diambil, pengetahuan lokal, kepercayaan, dan tradisi yang melekat juga ikut hilang. Karena itu, RUU MA harus memberikan perlindungan menyeluruh agar masyarakat adat tidak semakin tersisih,” kata Catharina.
Ia juga menekankan perlunya prosedur pengakuan yang sederhana dan mudah diakses, karena banyak komunitas adat kesulitan secara finansial membuktikan klaim mereka.
Senada, Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa tanpa pengakuan dan perlindungan tegas, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam, keanekaragaman hayati, sumber pengetahuan lokal, dan gagal mencapai target komitmen iklim global.
“Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jawabannya,” kata Anggi.
