Komnas HAM Usul Pemerintah Batalkan Kebijakan Tunjangan Rumah Anggota DPR
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencabut kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat dan menjadi pemantik konflik sosial, seperti tunjangan rumah anggota DPR. Hal ini dinilai penting untuk meredam gejolak sosial agar tidak terus berlanjut.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas H Saurlin Siagian, mendorong agar pemerintah dan DPR agar tidak mengambil keputusan yang menimbulkan keresahan publik.
“Menghimbau pemerintahan dan DPR untuk menarik kembali kebijakan-kebijakan yang berdampak negatif bagi masyarakat dan menimbulkan reaksi negatif kepada masyarakat,” kata Saurlin dalam Konferensi Pers yang disiarkan oleh kanal Youtube Humas Komnas HAM RI pada Jumat (29/8).
Demo yang berlangsung belakangan ini dipicu oleh wacana kenaikan penghasilan bulanan anggota DPR, berupa tunjangan perumahan senilai Rp 50 juta per bulan. Presiden Partai Buruh Said Iqbal melontarkan kritik tajam terhadap tunjangan perumahan anggota dewan tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu menilai nominal kenaikan tunjangan anggota dewan tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kenaikan upah buruh yang hanya ratusan ribu rupiah.
“DPR saja menaikan tunjangan seenaknya. Di mana hati nuraninya? Itu yang menyakiti rakyat, itu yang menyakiti buruh,” kata Said Iqbal kepada wartawan di sela-sela aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pada Kamis (28/8).
Kenaikan tunjangan DPR juga dinilai tidak menunjukkan rasa empati pada menurunya kondisi ekonomi masyarakat yang ditandai lesunya daya beli dan badai pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurhadi mengatakan, kenaikan tunjangan anggota dewan itu tidak hanya keliru secara substansi, melainkan juga tidak mendapat dukungan dari publik.
“Kebijakan ini tidak memiliki empati atau kepekaan sosial terhadap kondisi rakyat, kurangnya sense of crisis, kurangnya kapasitas DPR dalam merumuskan masalah dan kebijakan, serta buruknya komunikasi pada publik,” kata Nurhadi dalam siaran pers pada kamis (28/8).
Nurhadi menilai, kenaikan penghasilan bulanan DPR nantinya justru mempertebal kesenjangan sosial yang ada di antara para dewan dan rakyat kecil. Nurhadi membandingkan total pendapatan anggota DPR setara dengan ratusan ribu gaji guru honorer. “Jadi ini kan satu kesenjangan yang sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut Nurhadi, kebijakan kenaikan tunjangan di tengah kondisi fiskal negara yang buruk merupakan langkah tidak tepat, terlebih ketika pemerintah sedang melakukan banyak efisiensi.
Komnas HAM pun menilai adanya dugaan kuat aparat, khususnya Brimob, menggunakan kekuatan secara berlebihan atau excessive use of force saat menangani demonstrasi.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Putu Elvina, mengatakan sikap polisi yang menggunakan kekuatan secara berlebihan menjadi penyebab adanya korban jiwa atas nama Affan Kurniawan selaku pengemudi ojek online yang ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brimob. Kejadian tersebut terjadi daerah Pejompongan, Jakarta Pusat pada Kamis, 28 Agustus malam.
“Diduga kuat telah terjadi penggunaan kekuatan yang berlebih oleh penanganan aksi unjuk rasa yang menyebabkan satu orang atas nama almarhum Affan Kurniawan, 21 tahun, meninggal dunia,” kata Putu dalam Konferensi Pers yang disiarkan oleh kanal Youtube Humas Komnas HAM RI pada Jumat (29/8).
