Sahroni hingga Eko Patrio Masih Terima Gaji Meski Dinyatakan Nonaktif dari DPR

Ade Rosman
1 September 2025, 12:57
dpr, sahroni, gaji, uya kuya, eko patrio
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni memimpin rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mantan pemain sirkus dan pengelola sirkus Taman Safari di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejumlah kader partai politik yang dinonaktifkan partainya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menerima gaji. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah membenarkan hal tersebut.

Ia menjelaskan, dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) tak ada istilah nonaktif. Oleh sebab itu, mereka masih menerima gaji meski dinyatakan nonaktif. 

“Kalau dari sisi aspek itu, ya (masih) terima gaji,” kata Said kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/9). 

Di sisi lain, dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini menjelaskan, istilah nonaktif memang ada dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), tetapi penggunaannya sangat spesifik. 

Pasal 144 UU MD3 menyebutkan bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan, asalkan pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat serta lengkap untuk diproses.

“Jadi, konteks nonaktif dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum,” kata Titi saat dihubungi, Senin (1/9). 

Selain itu, kata Titi, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR juga menegaskan hal yang sama, yakni pengaturan nonaktif hanya sebatas pada pimpinan/anggota MKD yang diadukan. 

Status keanggotaan DPR baru bisa berubah melalui mekanisme pemberhentian antar waktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Pasal 239 UU MD3. Prosesnya melibatkan usulan partai, pimpinan DPR, dan penetapan Presiden.

“Karena itu, ketika partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, sebenarnya masih berupa keputusan internal politik partai atau fraksi, belum mekanisme hukum,” kata Titi. 

Mereka yang dinonaktifkan itu tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW yang bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR.

Titi menjelaskan, dari perspektif akuntabilitas publik, penggunaan istilah nonaktif adalah di luar koridor UU MD3 dan Tatib DPR sehingga bisa menimbulkan kerancuan bagi publik.

Ia menyarankan, agar lebih jelas dan demi menjaga kepercayaan masyarakat, maka partai politik harus mempertegas apa yang dimaksud dengan penonaktifkan tersebut. 

Partai politik juga perlu menjelaskan kepada masyarakat konsekuensi dari penonaktifan terhadap status dan hak keanggotaan dari anggota DPR yang dinonaktifkan itu.

“Selama belum ada pemberhentian antarwaktu atau pemberhentian tetap dari keanggotaan DPR, maka logikanya masih menerima gaji dan fasilitas kedewanan,” kata Titi. 

Sebelumnya, Partai NasDem, PAN, juga Golkar menonaktifkan para kadernya buntut unjuk rasa besar-besaran yang terjadi seminggu kebelakang. Sejumlah kader yang dinonaktifkan yaitu Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, serta Adies Kadir.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...