Masyarakat Sipil Soroti RUU Perampasan Aset, Desak DPR Libatkan Masyarakat
Koalisi masyarakat sipil memberikan catatan pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penyusunan RUU Perampasan Aset. Mereka meminta DPR tetap melibatkan masyarakat dalam pembuatannya.
Koalisi tersebut terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI), serta Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Anggota koalisi, yang juga merupakan peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan, DPR wajib untuk segera membahas RUU Perampasan Aset dengan tetap mempertimbangkan partisipasi masyarakat.
DPR juga diminta tak membahas RUU Perampasan Aset secara terburu-buru dan serampangan. Pembahasannya pun harus melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil, serta transparan.
“Terlebih, sejak disepakatinya RUU Perampasan Aset menjadi Prolegnas Prioritas 2025, tersisa kurang lebih hanya 4 (empat) bulan sebelum 2026. Jika lewat dari tenggat waktu, maka terdapat potensi RUU Perampasan Aset kembali mengawang tidak terbahas,” kata Wana dalam keterangannya, Rabu (10/9).
Koalisi berpandangan naskah akademik dan draf RUU yang semula sudah disusun di periode sebelumnya tidak perlu dirombak secara keseluruhan maupun diulang dari awal.
Hal itu untuk menghindari proses yang terlalu lama. Mereka khawatir RUU Perampasan Aset malah disusun hanya untuk kepentingan elit dan menghilangkan esensi dari upaya perampasan aset itu sendiri.
Koalisi juga meminta agar pembahasan RUU Perampasan Aset harus dibahas bersamaan dengan RKUHAP untuk menghindari tumpang tindih aturan yang menyebabkan ketidakpastian hukum.
“Sebab, setidaknya terdapat beberapa hal antara RUU Perampasan Aset dengan RKUHAP yang bersinggungan,” kata Wana.
Beberapa di antaranya yakni kewenangan penegak hukum, status aset hasil tindak pidana, dan lainnya.
Koalisi memberikan sejumlah catatan terkait isu yang wajib dibahas oleh DPR berkaitan dengan RUU Perampasan Aset, sebagai berikut:
Kualifikasi Aparat dan Lembaga Pengelola Aset
Koalisi menyoroti kewenangan Kejaksaan Agung sebagai lembaga pengelola aset yang masih menjadi perdebatan. Mereka berpandangan kewenangan kejaksaan yang terlalu luas dalam pengelolaan aset tersebut melingkupi penyimpanan, pengamanan, hingga pemanfaatan dan pengembalian.
Koalisi berpandangan perlu adanya jaminan pengawasan pengelolaan aset yang dilakukan oleh kejaksaan agar nilai aset tidak berubah terlalu drastis.
Aturan Mengenai Harta
Koalis menyatakan, harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya atau unexplained wealth merupakan konsep dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal.
Penjelasannya, jika seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi dari pendapatan seharusnya dan tidak dapat dijelaskan asal usulnya, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana, misalnya suap atau gratifikasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki instrumen untuk mendeteksi hal itu lewat LHKPN yang dapat digunakan untuk melihat lonjakan harta seorang pejabat.
Batas Jumlah Aset Rampasan
Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai paling sedikit Rp 100.000.000 dan diancam dengan 4 tahun atau lebih. Koalisi menilai batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya.
Upaya Paksa dan Pengawasan
RUU Perampasan Aset ini sangat berkaitan dengan upaya paksa. Koalisi menilai, meskipun RUU Perampasan Aset tidak mengandalkan pemidanaan terhadap pelakunya, namun penyidik dapat melakukan pemblokiran maupun penyitaan.
Ini merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang akan membatasi hak seseorang. Oleh karenanya mekanisme upaya paksa dalam RUU Perampasan Aset wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Sistem Pembuktian
Model pembuktian yang dikenal dalam non-conviction based asset forfeiture adalah pembuktian yang diadopsi dari hukum acara perdata. Makanya, koalisi meminta RUU Perampasan Aset mengadopsi sistem pembuktian terbalik karena bebannya bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa.
Oleh karena itu Koalisi menilai perlu ada mekanisme untuk memastikan jika secara nyata harta tersebut merupakan kepunyaan sah milik tersangka atau terdakwa.
Koalisi menegaskan, sejumlah isu tersebut tidak hanya terbatas pada substansi yang ada di dalam RUU Perampasan Aset, namun juga diatur dalam RKUHAP.
“Maka, RUU Perampasan Aset dan RKUHAP harus bersinergi dan selaras dengan tujuan pemulihan aset tindak pidana, bukan hanya sekadar ada atau malah menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” katanya.
