Kronologi Kasus PLTU Kalbar yang Seret Halim Kalla dan Eks Dirut PLN
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) PLN 2008-2009 Fahmi Mochtar serta pengusaha Halim Kalla sebagai tersangka kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat pada 2008-2018.
Halim kalla merupakan adik dari Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla (JK). Kepala Kortastipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo mengatakan, selain Fahmi dan Halim, polisi juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni Dirut PT BRN berinisial RR dan Dirut PT Praba berinisial HYL.
“Tersangka FM, di sini yang bersangkutan beliau sebagai Direktur PLN saat itu. Terus kemudian dari pihak swastanya ini ada tersangka HK, RR, dan juga pihak lainnya," kata Cahyono di Mabes Polri, seperti disiarkan di YouTube TV Radio Polri, Senin (6/10).
Direktur Penindakan (Dirtindak) Kortas Tipikor Polri, Brigjen Totok Suharyanto mengatakan, kasus ini bermula ketika PLN mengadakan lelang ulang terkait proyek pembangunan PLTU 1 di Kalimantan Barat, yang nantinya akan memiliki output 2x50 MegaWatt.
Fahmi selaku Dirut PLN periode 2008-2009 diduga mengakali dengan menggandeng swasta untuk memenangkan lelang tersebut. Adapun dalam perkara ini, pihak swasta yang telah ditetapkan sebagai tersangka yaitu Direktur PT BRN Halim Kalla (HK), Dirut PT BRN berinisial RR dan Dirut PT Praba berinisial HYL.
“Pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM selaku dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN,” kata Totok.
Panitia pengadaan PLN lalu meloloskan KSO BRN, Alton, OJSEC meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis pembangunan PLTU tersebut. Saat pengerjaan di 2009, KSO BRN melemparkannya pada PT Praba Indopersada sebagai pihak ketiga, dengan kesepakatan pemberian imbalan. Ini dilakukan sebelum adanya tanda tangan kontrak.
Tapi, hingga kontrak berakhir, KSO BRN maupun PT PI tak dapat menyelesaikan pekerjaannya. Tercatat hanya sekitar 57% yang diselesaikan.
Atas dasar itu, diberikan perpanjangan kontrak hingga 10 kali sampai Desember 2018. Setelah diberikan perpanjangan itu, KSO BRN beserta pihak ketiga tidak dapat merampungkan pekerjaannya dengan alasan keterbatasan keuangan, dan hanya dapat mencapai 85,56%.
Pada kondisi itu, KSO NRN telah menerima pembayaran dari PLN senilai Rp 323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$ 62,4 juta untuk mechanical electrical.
Kepolisian mengatakan, dalam perkara ini, kerugian keuangan negara ditaksir senilai USD 62.410.523 USD serta Rp 323.199.898.518. Jika diakumulasikan jumlahnya mencapai Rp 1,35 triliun.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 UU No.31/1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dalam UU 20/2001 tentang pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
