KPK Ungkap Modus Pemerasan yang Dilakukan Gubernur Riau, Singgung 'Jatah Preman'

Ameidyo Daud Nasution
6 November 2025, 12:38
gubernur riau, kpk, pemerasan
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) menggunakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Abdul Wahid jadi tersangka usai diduga memeras para bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau.

KPK mengungkapkan hasil dari pemerasan itu digunakan untuk keperluan Abdul Wahid termasuk perjalanan ke luar negeri. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, dana tersebut ada yang digunakan ke Inggris hingga Brasil.

“Salah satunya yang kita monitor itu adalah untuk perjalanan ke London, kemudian perjalanan ke Brasil, kemudian juga ada informasi akan perjalanan ke Malaysia, tapi itu keburu ditangkap,” kata Asep dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

Modus Pemalakan 'Jatah Preman'

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan modus dan kronologi terbongkarnya pemerasan yang dilakukan Abdul Wahid. Awalnya, tim KPK mendapatkan informasi bahwa pada Mei 2025 terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru.

Pertemuan tersebut antara Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP.

Persambuhan membahas kesanggupan pemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid, yakni sebesar 2,5%. Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.

Ferry lalu menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau M. Arief Setiawan. Namun, Arief yang merupakan perpanjangan tangan Abdul Wahid meminta fee sebesar 5% atau Rp 7 miliar.

“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Johanis.

Kemudian, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5% atau Rp 7 miliar.

Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode “7 batang”. “Dari kesepakatan tersebut, setidaknya terjadi tiga kali setoran fee jatah AW,” katanya.

Rinciannya yakni, pada Juni 2025, setoran pertama Ferry Yunanda sebagai pengepul uang dari Kepala UPT, mengumpulkan total Rp 1,6 miliar atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid.

Ferry lalu mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. Ferry juga juga memberikan uang sejumlah Rp 600 juta kepada kerabat Arief.

Lalu, pada Agustus 2025, atas perintah Dani sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT, dengan uang terkumpul sejumlah Rp1,2 miliar.

Atas perintah Arief, uang tersebut, di antaranya didistribusikan untuk sopirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.

Kemudian, pada November 2025, pengumpulan dana dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar. Uang tersebut dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada AW.

“Sehingga, total penyerahan pada Juni - November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” kata Johanis.

Bersamaan dengan OTT, KPK juga menggeledah dan menyegel rumah Abdul Wahid di wilayah Jakarta Selatan. KPK kemudian mengamankan sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yakni 9.000 pound sterling dan 3.000 USD atau senilai Rp 800 juta.

“Sehingga total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp 1,6 miliar,” kata Tanak.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...