Hakim Tipikor: Kasus Akuisisi ASDP Beda dengan Karen Agustiawan di Pertamina
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat Sunoto menilai perkara dugaan tindakan melawan hukum yang menjerat tiga mantan petinggi PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) terkait akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) tidak dapat disamakan dengan kasus eks Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, dalam investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG).
Menurut Sunoto, kedua perkara tersebut memiliki karakteristik dan fakta hukum yang berbeda, meskipun sama-sama melibatkan perusahaan BUMN. Ia menilai konteks pengambilan keputusan bisnis, kualitas uji tuntas, hingga hasil dari kebijakan investasi dalam kedua kasus itu berada pada level yang tidak setara untuk dijadikan pembanding.
Sunoto menilai majelis hakim idealnya perlu mempertimbangkan prinsip business judgement rule (BJR) dalam menilai apakah tindakan para terdakwa merupakan tindak pidana korupsi atau keputusan bisnis.
Ketentuan dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa business judgment rule (BJR) merupakan doktrin hukum yang memberikan perlindungan kepada direksi dari pertanggungjawaban pribadi atas keputusan bisnis yang mereka ambil.
Perlindungan ini berlaku selama keputusan tersebut dibuat dengan itikad baik, kehati-hatian yang memadai, serta berada dalam batas kewenangan yang sah, meskipun pada akhirnya BUMN tidak memeroleh hasil benefit yang optimal.
Sunoto menguraikan penerapan BJR dalam kasus Karen Agustiawan dinilai tidak relevan karena uji tuntas investasi Pertamina di BMG Australia pada 2009 tidak dilakukan secara sempurna akibat data yang tidak lengkap.
Selain itu, akuisisi yang dilakukan justru merugi tanpa memberikan hasil positif apa pun. Keputusan tersebut juga diperberat dengan persetujuan dewan komisaris yang bersifat rancu dan tidak menunjukkan adanya nilai strategis dari proyek tersebut.
“Untuk diterapkan BJR dalam kasus Karen Agustiawan, uji tuntas tidak sempurna karena data tidak lengkap, data akuisisi murni merugi tanpa ada hasil positif sama sekali. Persertujuan komisaris bersifat mendua dan tidak ada nilai strategis yang dapat diidentifikasi,” kata Sunoto saat memimpin jalannya sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (20/11), siang.
Di sisi lain, Sunoto menilai perkara akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh ASDP pada 2019-2022 yang menjerat Mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi, eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan keputusan bisnis yang tidak optimal tanpa unsur niat jahat.
Ia menguraikan perkara ASDP terkait akuisisi PT JN telah melaui uji tuntas dengan biaya Rp 11,2 miliar dan melibatkan tujuh konsultan profesional. Proses ini dinilai menghasilkan capaian bisnis yang positif, mulai dari kontribusi pendapatan bagi ASDP hingga peningkatan pangsa pasar sebesar 45,65%.
"Kehati-hatian juga terbukti dari keterlibatan 7 konsultan profesional dan pertimbangan nilai strategis secara holistik. Meskipun ada beberapa kapal yang bermasalah, para terdakwa mempertimbangkan nilai strategis yang sangat nyata dampaknya," ujar Sunoto.
Selain itu, keputusan akuisisi tersebut telah memperoleh persetujuan lengkap dan tegas dari komisaris, RUPS, serta Menteri BUMN saat itu. Sunoto juga menganggap proses aksi korporasi ASDP memiliki nilai strategis yang jelas bagi perusahaan.
“Meskipun 9 kapal berusia tua, PT ASDP memeroleh 53 kapal sekaligus dengan harga paket yang lebih ekonomis. Memperoleh 53 izin operasi komersial di tengah moratorium yang sangat ketat dan kapal-kapal yang beroperasi tetap memberikan kontribusi pendapatan,” ujarnya.
Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat sebelumnya menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan kepada Ira Puspadewi. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan 8 tahun 6 bulan penjara.
Majelis hakim juga menetapkan vonis pidana penjara 4 tahun masing-masing kepada Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketetapan ini juga lebih rendah dari tuntuan jaksa yang mendakwa masing-masing 8 tahun penjara.
Ketiganya didakwa merugikan negara Rp 1,25 triliun dalam kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara pada 2019-2022. Jaksa KPK mengatakan, kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam. Jaksa menjelaskan perkara ini berawal dari skema kerja sama usaha (KSU) antara ASDP dan PT JN pada 2019.
Para terdakwa juga dituding tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli. Mereka diduga mengondisikan penilaian 53 unit kapal PT JN oleh KJPP Mutaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan rekan.
