MK Tolak Gugatan Rakyat Bisa Pecat Anggota DPR
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) agar rakyat bisa memberhentikan anggota DPR. Gugatan bernomor perkara 199/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh sejumlah mahasiswa.
“Amar putusan: menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” bunyi putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang, Kamis (27/11).
Mahkamah menilai pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR baik yang diusulkan oleh partai politik (parpol) maupun yang disebabkan karena anggota DPR diberhentikan sebagai anggota parpol adalah konstitusional demi menegakkan otoritas dan integritas parpol.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menuturkan, mahkamah tidak menemukan alasan yang kuat untuk mengubah pendiriannya dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 38/PUU-VIII/2010.
Mahkamah menilai parpol tetap memiliki peran penting dan strategis sebagai pilar demokrasi dalam demokrasi perwakilan di Indonesia melalui pemilihan umum (pemilu), di mana dalam sistem demokrasi modern, sistem perwakilan pada umumnya direpresentasikan oleh parpol.
“Adanya mekanisme PAW ini merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan hubungan partai politik, calon legislatif, dan konstituen yang memilihnya,” kata Guntur.
Mahkamah berpandangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, parpol sebagai peserta pemilu legislatif akan mengajukan kader-kader terbaik untuk dicalonkan sebagai wakil rakyat yang mengusung visi, misi dan platform partainya.
Menurut mahkamah, hanya orang yang terdaftar dalam daftar calon tetap anggota legislatif dari sebuah partai politik peserta pemilihan umum yang dapat dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum untuk memperjuangkan kepentingan konstituen dan kepentingan rakyat secara umum sesuai dengan visi, misi, dan platform partainya.
Sehingga mahkamah berpandangan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas pada norma Pasal 239 ayat (2) huruf d dan huruf g UU 17/2014 yang digugat. Mahkamah menilai penjelasan pasal tersebut dinyatakan cukup jelas dan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma.
Adapun, mahkamah menilai petitum para pemohon meminta untuk dilakukannya pemilihan kembali di daerah pemilihan (dapil) yang anggota DPR terpilihnya diusulkan berhenti oleh parpol tersebut tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan. Secara teknis, mahkamah juga menilai tidak mungkin diwujudkan karena dalam proses pemungutan suara yang tertutup tidak dapat diketahui siapa memilih siapa.
Di sisi lain, mahkamah juga berpandangan, pemberhentian antarwaktu atau recall terhadap anggota DPR dan anggota DPRD harus dilakukan partai politik sebagai wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan. Karena, pemilihannya pun menggunakan mekanisme serupa.
Mahkamah mengatakan, apabila pemilih menilai terdapat anggota DPR atau DPRD yang tidak layak menjadi anggota DPR atau anggota DPRD, pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau anggota DPRD dimaksud.
Adapun, permohonan ini diajukan oleh pelajar/mahasiswa di antaranya yakni pemohon I Ikhsan Fatkhul Azis, Pemohon II Rizki Maulana Syafei, Pemohon III Faisal Nasirul Haq, Pemohon IV Muhammad Adnan, dan Pemohon V Tsalis Khoirul Fatna.
Dalam petitumnya para pemohon memohon kepada mahkamah untuk menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
