Laporan dari Agam: Duka di Kampung yang Hilang, Sepekan Setelah Banjir Bandang
Suasana duka masih menyelimuti Nagari Salareh Aia Timur siang itu, Sabtu (6/12). Sembilan hari setelah banjir bandang dan tanah longsor menerjang kampung yang terletak di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatra Barat itu masih tenggelam dalam kesedihan.
Saat saya dan tim Katadata tiba pukul 09.30 WIB setelah menempuh sekitar tiga jam perjalanan dari pusat Kota Padang, wajah penuh penantian dari warga yang kehilangan keluarga masih terlihat di mana-mana. Di sepanjang mata memandang, yang tampak hanya kerusakan.
Banjir besar bercampur material batu, pasir dan tanah telah menyapu benda apa saja yang berada di jalur banjir. Warga lokal menyebutnya sebagai galodo. Saya tak kuasa melihat, rasa getir menjalar hingga ke tulang hingga suara tercekat saat mencoba bicara. Satu kampung telah hilang.
“Dulu ini pemukiman warga. Ramai. Tapi sudah disapu galodo,” kata seorang polisi yang bertugas saat saya temui di lokasi bencana.
Dari pantauan di lapangan, terlihat jelas bahwa banjir besar yang terjadi pada Kamis (27/11) sore itu telah menghanyutkan satu kampung. Di sisi kanan dan kiri jalan kini telah diselimuti lumpur tebal. Sebagian rumah warga tenggelam hingga setengah badan.
Bangunan yang tersisa hampir seluruhnya mengalami rusak berat. Dinding rumah pecah dan rusak berta, tiang miring dan atap yang seolah tinggal menunggu waktu untuk ambruk.
Lahan pertanian di sekitar desa, yang selama ini menjadi sumber hidup warga juga habis disapu galodo. Kampung ini seperti tak berpenghuni sebelumnya.
Beberapa hari setelah bencana, di sepanjang jalan, mobil-mobil bak terbuka milik relawan terus berdatangan. Ada yang dari kelompok mahasiswa, rombongan ibu-ibu, organisasi kepemudaan, relawan hingga pelajar yang masih mengenakan seragam. Mereka datang menembus panas terik, membawa bantuan bagi warga yang terdampak.
Saya menuruni jalan untuk melihat lebih dekat beberapa rumah yang masih berdiri. Kondisinya porak-poranda. Dindingnya pecah dihantam arus, kaca jendela tak bersisa dan lumpur memenuhi nyaris seluruh ruangan.
Pada dinding ruang tamu salah satu rumah warga, foto keluarga yang masih terpajang kini dipenuhi guratan lumpur menandakan tinggi air yang pernah melewati ruangan itu. Sepeda motor dan mobil terlempar jauh dari posisinya, ringsek tak berbentuk.
Mencari yang Hilang
Sementara itu di sebuah warung kecil, seorang ibu tampak mengeruk lumpur di teras menggunakan sekop. Ketika saya menghampiri, ia bercerita bahwa warung itu dulunya menyatu dengan rumah ibunya.
Pada bagian belakang warung itu dulunya tersambung dengan rumah sang ibu. Kini, hanya ruang kosong yang tertinggal. Seperti kosongnya mata ibu itu menceritakan kembali bencana besar yang melanda Salareh Aia Timur pada sore naas di Kamis (27/11).
“Kejadiannya cepat kali, cuma 15 detik,” ujarnya dengan suara lirih. Ibunya ditemukan tak bernyawa. Ia dan keluarga intinya selamat, namun rumahnya hilang tak bersisa.
Saya melangkah lebih jauh menyusur kampung, menuju sebuah masjid yang dari kejauhan tampak memiliki atap masih utuh. Di halaman masjid itu warga berkumpul, menjadikannya titik distribusi bantuan. Beberapa warga terlihat berdiri sambil berjinjit, menengok ke arah jalan, berharap bantuan segera datang untuk sekadar mengisi perut siang itu.
Ketika sebuah mobil pick up berhenti dan menurunkan kantong-kantong berisi pakaian, beras, mi instan, dan sarden, warga sontak bergerak mendekat. Tidak ada yang mereka miliki kini, selain mengandalkan uluran tangan para relawan yang terus berdatangan.
Di tengah kesibukan itu, seorang lelaki berjalan terseok-seok ke arah saya. Ia memperkenalkan diri sebagai Agus. Ia berdiri dengan langkah limbung, seperti menahan rasa sakit yang tak hanya ada di tubuh, tapi juga di hatinya.
Ketika galodo itu datang, Agus berusaha menyelamatkan ketiga anaknya lebih dulu. “Jangan pikirkan Ayah, kalian jalanlah lebih dulu,” ujar Agus mengulang perintah yang ia keluarkan di sore nahas itu.
Namun belum sempat ia beranjak dari halaman rumah, sebuah tiang listrik tumbang di depan matanya. Kabelnya mencambuk dada Agus, melilit tubuhnya. “Itu bukan banjir lagi. Ini lumpur,” katanya. Matanya melirik ke atas, kiri dan kanan saat mengulang cerita itu sembari mengingat kembali gambaran banjir besar itu.
Menurut Agus, dalam keadaan setengah sadar, ia melihat air bah menyeret ketiga anaknya dan istrinya. Dalam hitungan detik, ia dan keluarganya terpisah oleh arus lumpur yang bergemuruh.
Selama bercerita, sesekali ia mengusap dadanya seolah berusaha menenangkan diri. Tak kuasa ia menahan emosi mengingat detik demi detik yang dilalui saat bencana bahkan beberapa hari setelahnya ketika ia tak henti mencari keluarganya.
“Alhamdulillah. Jumat pagi istri saya sudah ditemukan,” katanya lirih. Pertemuan terakhir itu bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk mengantar sang istri ke liang lahat.
Tak kuasa saya menahan air mata mendengar cerita itu. Tubuh Agus sudah renta, geraknya lambat, namun suaranya seperti memikul beban yang jauh lebih berat. Rumahnya hilang. Jasad istrinya memang sudah ditemukan tapi tiga anaknya masih hilang. Sementara itu, dua anak lainnya yang merantau baru tahu kabar bencana dari telepon.
“Mereka tanya, ayah tinggal di mana. Saya tak bisa jawab,” ucap Agus sebelum kembali terisak.
"Kampung kami telah hilang."
Di tengah upaya pencarian korban yang masih hilang, mayoritas warga juga tengah bimbang. Mereka menunggu kata pasti dari pemerintah tentang kebijakan relokasi usai galodo menerjang.
Tinggal di posko pengungsian tidak mungkin berlangsung lama. Saya saja dengan pakaian lengkap menggigil begitu malam tiba. Udara di wilayah perbukitan ini menusuk tulang. Bagi lansia, ibu hamil, dan anak-anak, kondisi ini bisa sangat berbahaya.
Mereka yang Memilih Tak Berhenti
Duka di Salareh Aie tak bisa dihindarkan, tapi asa menyala makin besar di sana. Aparat TNI dan Polri, tenaga kesehatan, relawan hingga tim SAR bergotong-royong membersihkan sisa-sisa banjir. Mereka mengeruk lumpur, mengangkat batang pohon, memindahkan perabot yang hancur.
Indonesia tak pernah kekurangan orang-orang berhati luhur. Ketika saya menanyakan kelelahan mereka, para relawan selalu memberikan senyum lembut terlebih dahulu kemudian menjawab, “Ini panggilan jiwa.”
Keterbatasan peralatan tidak menghalangi upaya mereka. Ada relawan yang hanya bermodalkan sebatang tongkat untuk mencari korban. Ada yang membawa obat-obatan dari luar provinsi. Ada yang mengoperasikan alat berat. Ada pula yang datang dengan hati besar, mengumpulkan donasi dari orang-orang yang ingin memberi namun tak bisa hadir.
Narso adalah salah satu relawan yang memilih jalan pedang berada di antara para korban banjir bandang. Saya bertemu dengannya saat ingin melihat aliran air yang terbentuk usai banjir di Salareh Aia. Dia dan tim SAR duduk di tepi sungai.
Mereka sedang istirahat setelah setengah hari melakukan pencarian korban. Meski hanya berbekal sebuah pipa sebagai alat bantu mencari korban, ia tetap semangat menembus luasan lumpur di Salareh Aia.
“Bagaimana saya menjelaskannya, hati saya bergerak. Ini panggilan jiwa," kata dia ketika saya tanya apa yang mendorongnya ikut menjadi relawan.
Tak jauh dari Narso, saya bertemu Arif, dokter spesialis bedah dari Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Ia datang bersama Satgas Bencana Unri. Ia bercerita tentang seorang lansia yang selamat setelah tertimbun longsor selama 24 jam.
“Hanya wajahnya yang tidak tertimbun,” kata Arif.
Sulit membayangkan bagaimana warga terjebak lumpur itu selama berhari-hari. Saya sendiri sempat terjebak ke area bekas banjir tanpa sengaja. Ketika kaki saya masuk ke lumpur, saya tak bisa menariknya keluar. Butuh dua relawan yang membantu menarik saya.
Sejenak saya tertegun. Betapa mencekamnya suasana sore menjelang malam saat bencana itu tiba. Selain bantuan logistik, saya berpikir sangat penting mengobati trauma korban pasca bencana ini.
Menyalakan Asa
Pukul empat sore, hujan deras kembali mengguyur Salareh Aia. Para pengungsi berlarian mencari tempat berteduh di posko-posko darurat. Saya melanjutkan perjalanan menuju puskesmas. Dalam perjalanan, sebuah ambulans melaju kencang melewati kami.
Sesampainya di sana, saya mendengar kabar bahwa tim SAR baru saja menemukan tiga jenazah lainnya, tepat di lokasi tempat saya berdiri memandangi bentangan lumpur saat pertama kali tiba di Salareh Aia.
Masih ada 49 orang yang hilang. Tak ada seorang pun yang benar-benar tahu di mana mereka tertimbun, apakah masih di dalam rumah, terkubur di bawah batu besar atau terbenam dalam lumpur. Setiap kali jenazah ditemukan, keluarga yang menunggu berkerumun antara berharap dan takut.
Di tanah yang porak-poranda ini, yang tersisa hanyalah kehilangan, ketabahan dan harapan yang terus digenggam warga Salareh Aia Timur. Pada malam hari suasana jauh lebih mencekam. Salareh Aie seketika menjadi kampung mati.
Di bawah sorot lampu mobil yang saya tumpangi, yang tampak hanya bentang lumpur pekat dan rumah-rumah yang remuk. Bau lumpur yang tajam mengikuti perjalanan kami.




