Laporan dari Agam: Bertahan Usai Diterpa Banjir Bandang hingga 2 Hari Terisolasi
Muzahar warga Jorong Toboh yang terletak di Kecamatan Malalak Timur, Kabupaten Agam, Sumatra Barat tak kuasa menyembunyikan rasa gundah saat bercerita pada Katadata.co.id ihwal kemalangan yang baru menimpanya. Ia masih mengingat jelas bagaimana banjir bandang menyapu kampungnya pada Rabu (26/11).
Di hari nahas itu hujan turun sejak pagi. Muzahar dan keluarga melakukan aktivitas seperti biasa. Sekitar pukul empat sore, anak laki-lakinya berteriak dari luar rumah. Ia memberitahu bahwa ada aliran air dengan debit tak biasa datang dari arah perbukitan.
“Air besar di banda (selokan),” ujar Muzahar, mengulang teriakan putranya sesaat sebelum air bah datang menerjang. Dalam hitungan detik air itu menyeret rumah yang ditempati Muzahar dan keluarga.
Muzahar yang sedang di dalam rumah ikut terseret. Di sana juga ada anak perempuannya yang sedang menyusui bayi berusia satu tahun. Air datang begitu cepat, ia pun terbanting ke dinding.
Hitungan detik selanjutnya ia mencoba bangkit. Namun kini ia tidak lagi melihat anak perempuan maupun cucunya. Sementara anak laki-lakinya terhimpit puing rumah yang runtuh.
“Tolong aku, tolong aku,” teriak anaknya.
Hati Muzahar sudah campur aduk. Saat hendak menolong, sebuah kayu datang dari depan wajahnya dan menghantam pelipis Muzahar hingga mengeluarkan darah.
Dia masih merasakan darah mengalir, saat terus berupaya menggapai sang putra yang terluka. Sambil menahan rasa sakit, ia berusaha memanjat atap rumah untuk menyelamatkan diri.
Dari atap, ia kembali melihat anaknya yang terjepit kayu besar. Dengan sisa tenaga, ia mencoba menyingkirkan kayu dan menggenggam tangan anaknya. Namun gelombang berikutnya datang lebih besar., menyeret sang anak jauh hingga ke rumah tetangga.
Dalam pilihan yang terbatas, Muzahar berteriak, meminta anaknya memeluk tiang rumah. Meski sudah mencoba, tangan kecilnya tak mampu bertahan. Di tengah terjangan banjir bandang itu sang putra terseret arus, lesap dari pandangan Muzahar.
“Tiga anggota keluarga saya hilang,” ujar lelaki paruh baya itu terbata.
Sepekan lebih setelah banjir menerjang Muzahar tinggal sementara di rumah kakaknya. Rumahnya telah hancur total.
Ia mengatakan kebutuhan paling mendesak adalah tempat tinggal. Kebutuhan logistik seperti makanan dan pakaian juga diperlukan mengingat sawah yang selama ini menjadi mata pencahariannya telah disapu bersih oleh banjir.
Dua Hari Terisolasi
Banjir besar atau warga lokal menyebutnya sebagai galodo telah memutus sejumlah jembatan penghubung dusun atau jorong. Saat berada di lokasi, Katadata.co.id bertemu dengan Rosmida yang tinggal di kampung seberang. Ia tengah memilih pakaian dari para relawan untuk dibawa pulang ke rumahnya di jorong seberang, Minggu (7/12).
Saat galodo menerjang, jalan akses ke kampungnya terputus. Ia sama sekali tak bisa pergi ke kampung seberang lantaran tak berani turun dan melintas di sungai. Sementara jembatan penghubung telah roboh.
Selama terisolasi, ia dan keluarganya hidup seadanya, bertahan dengan mengandalkan sisa-sisa makanan yang terbatas di rumah. Ditambah lagi, sebelum galodo terjadi, wilayah Malalak terus diguyur hujan deras sehingga warga tidak bisa keluar untuk berbelanja.
“Sudah lima belas hari tak ada ke pasar,” kata Rosmida.
Dia mengatakan, setelah dua hari setelah galodo, barulah bantuan logistik bisa diperoleh dari para relawan. Setelah jembatan antar jorong hancur, warga kemudian membuat jembatan darurat dari tiga batang pohon kelapa. Jembatan tersebut hanya dapat dilalui oleh satu sepeda motor.
Dengan jembatan itu, warga dapat berjalan ke pusat pendistribusian logistik di Jorong Toboh untuk dibawa pulang ke rumah. Ada yang mengangkat telur dan beras menggunakan sepeda motor, ada juga yang mengangkutnya secara manual dengan mengandalkan tangan. Tabung gas diletakkan di pundak kanan sementara sekarung beras dipegang erat di tangan sebelah kiri.
Warga desa seberang harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk mendapatkan bantuan makanan dan kebutuhan lainnya. Mereka rela berjalan kaki sekitar tiga kilometer dari Jorong Toboh ke Jorong Seberang
Tak hanya itu, warga juga membuat tali penghubung yang dipasangi katrol agar dapat menyalurkan bantuan ke dua jorong di seberang. Bantuan logistik diikat pada katrol di tali tersebut, kemudian didorong melintasi sungai yang terbentuk karena banjir bah menuju jorong seberang.
Seorang warga kampung seberang lainnya Nani menceritakan masa-masa terisolasi itu. “Jalan putus semua, empat jembatan putus. Tak bisa belanja. Untung sekarang ada bantuan,” katanya.
Menurut Nani, hujan deras turun terus-menerus sebelum galodo terjadi. Padi tak bisa dijemur. Air bersih juga terputus.
Dia mengatakan warga di Malalak Timur sangat membutuhkan makanan pokok untuk saat ini. Sebab akses jalan ke pasar hancur sehingga tidak bisa berbelanja kebutuhan rumah tangga.
Di tengah serba keterbatasan itu ia pun bercerita masih trauma jika harus pergi ke sawah untuk bertani. Takut jika ada longsor susulan mengingat cuaca di wilayah Malalak masih terus diguyur hujan.
Nani berharap akses jalan bisa segera diperbaiki. “Kalau jalannya bagus, kami bisa menjual hasil kebun ke pasar atau ke Bukittinggi,” ujarnya.
Butuh Alat Berat
Di tengah reruntuhan dan tanah yang kini ditutupi lumpur, Malalak kini banyak dibantu relawan. Seorang anggota Basarnas, Idri mengatakan tim SAR gabungan saat ini sangat membutuhkan alat berat, terutama eskavator mini untuk membantu membuka akses jalan yang terputus.
Tak hanya itu, eskavator itu juga akan digunakan untuk mencari tiga korban lainnya yang hilang. Menurut idri, setelah dua belas hari pasca kejadian, lumpur longsor sudah mulai mengeras sehingga peralatan manual seperti cangkul dan alkon yang biasa digunakan tim SAR sudah tidak efektif.
“Kami pakai eskavator mini lima ton, tapi untuk membuka akses jalan dan mencari korban, kami butuh sepuluh ton. Kendalanya di Padang kami belum menemukan unitnya,” kata Idri di Malalak, Minggu (7/12).
Setelah dua minggu melakukan pencarian korban, tim SAR gabungan di Malalak telah menemukan 14 jenazah. Tiga orang lainnya saat ini masih dalam status hilang.
Berdasarkan data BNPB, Kabupaten Agam menjadi wilayah dengan dampak paling serius di Sumatera Barat. Hingga 10 Desember pukul 14.03 WIB, tercatat 181 korban jiwa dan 57 orang masih dinyatakan hilang. Banjir bandang juga menyebabkan sekitar 1.500 rumah rusak serta memaksa 5.300 warga mengungsi.
Hari mencekam di Malalak memang sudah lewat. Tapi ketakutan akan datangnya bencana baru masih menghantui. Hujan masih sering turun di Malalak dengan intensitas sedang hingga berat.
Di tengah keterbatasan alat evakuasi Indri masih terus mencari. Berharap korban yang hilang segera ditemukan. Dan saat Katadata.co.id meninggalkan kampung yang kini mencoba bangkit itu, hujan kembali turun membasahi tanah Malalak.


