Empat Faktor yang Dituding Jadi Penyebab Mahalnya Tiket Pesawat
Mahalnya harga tiket pesawat terbang membuat konsumen menjerit. Pemerintah merespons hal ini dengan kebijakan baru, yakni menurunkan tarif batas atas sebesar 12% hingga 16% dalam revisi Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 2019.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut penurunan itu baru terjadi di maskapai berlayanan penuh, seperti Garuda Indonesia dan Batik Air. Tapi, aturan itu tidak menyentuh langsung maskapai berbiaya murah (low cost carrier) seperti Citilink, Lion Air, dan Indonesia Air Asia. Pemerintah mengimbau maskapai murah menurunkan tarif 50% lantaran tak dikenakan kebijakan batas atas.
Berdasarkan pernyataan dari berbagai narasumber dan pelaku industri, setidaknya ada empat faktor yang dianggap sebagai penyebab utama mahalnya harga tiket pesawat saat ini.
1. Harga Avtur
Bahan bakar ini merupakan salah satu komponen penerbangan yang vital dan menyumbang 45% biaya operasional maskapai penerbangan. Harga avtur yang mahal membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengutarakan rencana untuk menghapus monopoli penjualan avtur oleh PT Pertamina (Persero). pasalnya, harga avtur domestik lebih tinggi 20% dibandingkan dengan harga internasional. Hal ini membuat maskapai penerbangan harus menaikkan harga tiket untuk mengimbangi beban operasional.
Jokowi sempat memberikan dua pilihan kepada Pertamina. Opsi pertama, meminta Pertamina menyesuaikan harga avtur domestik agar setara dengan harga internasional. Opsi kedua, pemerintah akan mengizinkan perusahaan minyak lain menjual avtur sehingga menyebabkan adanya kompetisi harga.“Saya yakin banyak yang mengantri supaya persaingan lebih sehat dan ada efisiensi,” ujar Jokowi saat itu.
(Baca: Tarif Batas Atas Pesawat Turun, Garuda Pertimbangkan Tutup Rute Kecil)
2. Nilai tukar
Sektor penerbangan merupakan usaha yang sensitif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Maskapai penerbangan harus menanggung biaya sewa pesawat dalam denominasi dolar AS, porsinya mencapai 20% dari total biaya penerbangan. Selain sewa pesawat, biaya perawatan dan bahan bakar juga dibayar dengan dolar AS.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, hampir seluruh komponen biaya penerbangan dibayar dengan dolar AS. Ketika ada gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tarif penerbangan langsung terdampak paling cepat.
"Mereka beli pesawat dengan dolar, beli avtur dengan dolar, tapi tarif tiket pesawat menggunakan (kurs) rupiah. Maka mau tidak mau, ada penyesuaian secara bertahap," kata Kalla awal tahun ini.
(Baca: Tarif Batas Atas Turun, AirAsia Akan Sesuaikan Harga Tiket Pesawatnya)
3. Pajak
Pelaku industri penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) memberi alasan lain mengenai tarif tiket penerbangan domestik yang lebih mahal. Ketua Umum INACA I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra mengatakan, penerbangan dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang membuat kompetisi tarif domestik lebih mahal. "Di dalam negeri kami malah terkena PPN," kata pria yang akrab dipanggil Ari ini, beberapa waktu lalu.
Oleh sebab itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta tarif PPN untuk penerbangan domestik ini dapat diturunkan dari 10% menjadi 5%. "Jadi pemerintah adil, bukan menekan maskapai saja tapi tidak mau mereduksi potensi pendapatan," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam keterangan tertulis.
(Baca: INACA Nilai Permintaan Penurunan Harga Tiket Pesawat Sulit Diwujudkan)
4. Potensi kartel
Alasan lain yang diduga memengaruhi harga tiket pesawat adalah adanya pembentukan harga yang dilakukan beberapa maskapai penerbangan. Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih mengatakan, lembaga anti monopoli usaha tersebut tengah melakukan investigasi dan penyidikan atas dugaan persekongkolan harga yang dilakukan maskapai penerbangan. Meski belum ada keputusan, Guntur menyebut potensi pembentukan harga itu telah ada.
KPPU telah memanggil INACA dan beberapa maskapai penerbangan. "Prosesnya akan disampaikan di rapat komisioner KPPU. Setelah itu baru dinilai apa cukup bukti, apa perlu masuk pemberkasan. Setelahnya baru dibawa persidangan untuk diuji," kata Guntur, pekan lalu.
Garuda Indonesia akan menyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh maskapai penerbangan. Menurut Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan, tarif penerbangan domestik yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan batas atas dan batas bawah yang ditetapkan Kemenhub.
Berdasarkan data CAPA Centre for Aviation, Lion Group masih menjadi penguasa pasar penerbangan Indonesia dengan penguasaan 50% pangsa pasar. Di bawahnya ada Grup Garuda dengan pangsa pasar 33%, disusul dengan Sriwijaya Group sebesar 13%. Namun ,belakangan operasional Sriwijaya diambil alih oleh Garuda sehingga total penguasaan pasarnya menjadi 46%.
(Baca: Traveloka: Lonjakan Penjualan Tiket Pesawat Tak Setinggi Mudik 2018)