Program OK-OTrip Rp 5.000 Anies-Sandi Tak Termasuk KRL, LRT, MRT
Program satu harga angkutan umum DKI Jakarta di masa pemerintahan Anies Baswedan - Sandiaga Uno yakni OK-OTRIP ternyata tidak mencakup transportasi berbasis rel. Beberapa moda tersebut antara lain kereta KRL Commuter Line serta Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT).
Direktur Utama TransJakarta Budi Kaliwono mengatakan, program pukul rata tarif transportasi Rp 5.000 tersebut baru mencakup angkutan darat dengan trayek. Menurutnya, apabila terlalu banyak moda terangkum, bisa jadi pelaksanaan program ini akan tertunda karena harus melalui penyesuaian sistem yang rumit.
"Kalau terlalu complicated (moda angkutannya) malah tidak jalan-jalan," kata Budi usai acara diskusi di Jakarta Creative Hub, Jumat (24/11).
Meski belum mencakup angkutan berbasis rel, namun Budi menjelaskan bahwa program ini akan efektif mengurangi beban biaya transportasi masyarakat. Ini mengingat dari penggunaan angkot atau mikrolet, hingga berganti bus ukuran menengah dan besar hanya dikenakan satu tarif saja.
"Jadi dari keberangkatan pertama (di Jakarta) ke tujuan Rp 5.000, pulangnya juga segitu (Rp 5.000)," ujarnya. (Baca juga: Perbandingan Anggaran Gubernur Anies dengan Ahok)
Sedangkan Direktur Utama PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Muhammad Nuril Fadhila lebih menyoroti konteks integrasi fisik bagi moda transportasi Indonesia. Apabila integrasi fisik sudah dibenahi maka pihak penyelenggara angkutan atau pemangku kebijakan baru dapat masuk integrasi pembayaran.
"Harus fisik dulu terintegrasi, kalau tidak akan susah," ujarnya.
Dia mencontohkan saat ini KCI dan TransJakarta sudah bekerjasama dalam pembenahan stasiun Tebet agar anjungan keluar masuk stasiun tersebut langsung mengarah halte TransJakarta. Konsep serupa akan dilakukan juga di stasiun Duren Kalibata.
"Dan perlintasan ditutup agar penumpang dapat langsung mengarah ke halte TransJakarta," ujarnya.
Adapun Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi membuka kemungkinan adanya dukungan terhadap program satu harga ini. Caranya dengan memberikan bus kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta apabila dirasa kebutuhannya mendesak.
"Tahun depan kemungkinan kami pengadaan 400 bus, bisa saja diprioritaskan (ke DKI) tapi memang harus merata ke daerah lain," katanya.
Sedangkan untuk pemberian subsidi dengan skema Public Service Obligation (PSO) dari pemerintah pusat saat ini belum dimungkinkan. Ini lantaran Budi merasa anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih cukup besar untuk memberi subsidi. "Saya kira mereka masih cukup mampu," katanya.