Kewajiban dan Larangan dalam Rancangan Aturan Bersepeda

Pingit Aria
9 Juli 2020, 18:43
Seorang mekanik di sebuah bengkel sepeda rumahan di Desa Tanjungsari, Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (3/7/2020). Permintaan jasa servis meningkat seiring tren bersepeda masyarakat selama masa pandemi Covid-19 tiga bulan terakhir.
ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/wsj.
Seorang mekanik di sebuah bengkel sepeda rumahan di Desa Tanjungsari, Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (3/7/2020). Permintaan jasa servis meningkat seiring tren bersepeda masyarakat selama masa pandemi Covid-19 tiga bulan terakhir.

Larangan lain bagi pesepeda ialah membawa seorang atau lebih dalam satu sepeda jika tak ada alat boncengan. Jika seorang penumpang sepeda berdiri di atas jalu roda belakang, pesepeda akan terkena pelanggaran lalu-lintas.

Demi keamanan dirinya, pesepeda wajib melengkapi kendaraannya dengan lampu putih, reflektor (mika pemantul cahaya), dan tanda khusus bagi pesepeda tuli atau kurang pendengaran. Lampu putih terpasang di bagian depan dan menyorot ke bawah. Lampu itu tidak boleh mengarah ke pengguna jalan lain.

Berikutnya, Pajak Sepeda...

Pajak Sepeda

Kelengkapan wajib lainnya adalah peneng atau tanda lunas pajak sepeda. Ya, sejak 1930-an, pemerintah kolonial menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda. Pajak juga dikenakan kepada pemilik kendaraan tak bermotor lain seperti delman, sado, dan gerobak. Meski, ada pengecualian bagi pesepeda dari kepolisian dan militer.

Besaran pajak sepeda berbeda di tiap wilayah, sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pemerintah kolonial menggunakan pajak ini untuk merawat jalan.

Pemerintah pendudukan Jepang mempertahankan penerapan pajak, tapi tujuannya untuk membiayai perang.

Pajak sepeda masih bertahan hingga Indonesia masuk masa merdeka. Bedanya, penggunaan pajak kembali untuk perawatan jalan.

Untuk membayar pajak, pesepeda harus membawa sepedanya ke Balai Kota atau kantor bendahara kota. Orang tak menganggap berat pajak sepeda. “Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di Balai Kota (atau haminte) di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an.

(Baca: Jumlah Pesepeda Meningkat di Masa Pandemi, Anies Bakal Tambah Jalurnya)

Pesepeda memang tidak perlu surat izin mengemudi (rijbewijs)Tidak pula ada batasan umur untuk pesepeda. Tapi mereka tetap wajib mematuhi aturan bersepeda, termasuk membayar pajak.

Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan dikenai sanksi. Di antaranya, penjara, denda, dan penghentian sementara operasional sepeda. “Semua sepeda yang tidak memakai peneng tahun 1950 yang berada di jalanan umum, akan ditahan,” ucap R. Soewirjo, walikota Jakarta dalam Java Bode, 18 April 1950. Sedangkan di Semarang, hukumannya denda sebesar 100 florin. Padahal pajaknya hanya 2,25 florin setahun.

Jika tak mampu membayar denda, pemilik sepeda akan masuk penjara selama-lamanya sebulan. Demikian keterangan dari De Locomotiev, 18 Juli 1950.

Penerapan pajak sepeda mulai kendor seiring menghilangnya sepeda dari jalanan kota-kota besar Indonesia pada 1970-an. Secara formal, pajak sepeda tidak berlaku lagi setelah terbit UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...