Cek Data: Polemik Status Pemilik Tanah di Plumpang, Bagaimana Faktanya
Kebakaran yang melanda depo BBM milik Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara memicu polemik. Bukan polemik mengenai penyebab kebakaran yang kedua kalinya terjadi di area penyimpanan BBM tersebut, melainkan soal kepemilikan tanah di Kampung Tanah Merah yang terletak di sekitar depo.
Banyaknya warga yang membangun rumah di sekitar lokasi dinilai tidak aman, karena berada di wilayah berbahaya. Apalagi depo tersebut merupakan wilayah strategis yang semestinya dalam radius tertentu steril dari rumah penduduk.
Kontroversi
Sedikitnya 19 orang tewas dan 49 luka-luka akibat kebakaran depo BBM milik Pertamina di Plumpang, Koja, Jakarta Utara. Kebanyakan korban merupakan warga sekitar yang rumahnya berada di sekitar depo. Rumah-rumah mereka terbakar setelah tersambar kobaran api dari dalam area depo.
Banyaknya rumah yang ikut terbakar memunculkan pertanyaan mengenai legalitas kawasan perumahan di sekitar depo. Mengapa warga dapat membangun rumah di sekitar lokasi strategis yang semestinya berjarak dengan pemukiman warga? Apalagi depo BBM tersebut memiliki risiko tinggi yang rawan kecelakaan.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, warga yang tinggal di sekitar depo seharusnya pindah. Menurutnya, depo sudah dibuat lebih dulu dengan daerah kosong atau buffer zone untuk keamanan.
“Jangan Depo Plumpang yang disuruh pindah. Orang yang tidak berhak di situ yang harus disuruh pindah, jangan dibalik-balik!” kata Luhut kepada wartawan di Jakarta, Senin, 6 Maret 2023.
Berbeda dengan Luhut, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, depo Pertamina akan dipindahkan ke tanah milik Pelindo. “Kami akan koordinasi dengan Pelindo lahannya akan siap dibangun akhir 2024. Pembangunan memerlukan waktu dua sampai dua setengah tahun,” kata Erick pada hari yang sama.
Perbedaan pandangan di internal pemerintah menggambarkan belum jelasnya status tanah di kawasan tersebut. Pasca-kebakaran di lokasi yang sama pada 2009, sempat muncul juga wacana memindahkan warga, tetapi tidak terealisasi.
Faktanya
Depo Pertamina di Plumpang beroperasi sejak 1974. Pembangunan depo dilakukan setelah Gubernur DKI Jakarta memberikan surat izin penggunaan tanah untuk Pertamina pada 1969. Adapun, penggunaan tanah yang diizinkan seluas 17 hektare (ha).
Pada 1976, Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat keputusan (SK Mendagri) nomor 190/HGB/DA/76 yang terbit 5 April 1976. Surat tersebut menetapkan tanah di Kampung Tanah Merah tersebut sebagai milik negara dengan status hak guna bangunan atas nama Pertamina.
Total tanah negara di kawasan tersebut seluas 153 ha. Dari total lahan, Depo Plumpang menguasai area seluas 72 ha, sementara warga menempati 81 ha.
Pertamina sempat mengupayakan pembebasan lahan di daerah sekitar depo. Kemudian pada 1991, Walikota Jakarta Utara menerbitkan surat berisi perintah pembongkaran rumah dan bangunan milik warga.
Pemerintah DKI Jakarta pada saat itu menyiapkan uang pesangon untuk warga yang terdampak sebesar Rp37 per m2 bangunan.
Namun warga Kampung Tanah Merah menolak perintah pembongkaran. Pada Januari 1992, warga melayangkan gugatan atas pemberian pesangon dan perintah pembongkaran rumah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang kemudian mengabulkan permohonan warga.
Meskipun menang, pembongkaran tetap berlangsung sehingga warga kembali melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lagi-lagi gugatan warga dikabulkan pengadilan.
Pertamina sempat melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri tersebut tetapi tidak membuahkan hasil. Dalam laporan keuangan 2015, Pertamina masih mencatat aset di Plumpang sebagai aset non-free yang masih dalam proses hukum dan penyelesaian.
Pengecekan status hak tanah di Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga tidak menunjukkan kejelasan. Hingga saat ini, status hak tanah perkampungan sekitar Depo Plumpang tertulis “kosong” atau masih tanah negara tanpa pemilik hak, serta belum terdaftar di BPN.
Putusan Pengadilan Negeri dan tidak adanya kepastian status tanah di Plumpang sebagai milik Pertamina ini yang menyebabkan upaya merelokasi warga selalu gagal. Kebakaran Plumpang pada 2009 sempat membuka kembali wacana relokasi, tetapi hasilnya nihil.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan keberpihakannya kepada warga di Kampung Tanah Merah. Pada 2013, Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai gubernur memberikan “legalitas” dengan meresmikan RT/ RW, sekaligus membuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk warga.
Anies Baswedan yang menjabat gubernur sejak 2017 kemudian memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) kawasan untuk warga Kampung Tanah Merah pada 2021. Izin tersebut bersifat sementara yang berlaku hingga 2024, yakni sampai ada kejelasan legalitas tanah yang disengketakan warga dan Pertamina.
IMB sementara ini dikeluarkan agar warga memperoleh hak untuk mengakses fasilitas publik, seperti jalan dan air.
Siapa Lebih Dulu, Warga atau Pertamina?
Beberapa sumber menyebutkan hunian liar di sekitar Depo Pertamina baru muncul pada 1980-an. Salah satunya adalah Kompas.com yang menyebut warga membangun perumahan di lahan yang belum digarap Pertamina saat itu.
Namun, catatan RUJAK Center for Urban Studies menyebutkan, sudah ada permukiman di Tanah Merah sebelum Pertamina membangun depo pada 1971. Hal ini terbukti dari surat pernyataan yang mengakui penggarapan lahan seluas 2,5 ha yang telah diperjualbelikan pada 1960.
Antropolog Vrije Universiteit Amsterdam, Freek Colombijn, mencatat praktik pembangunan hunian liar oleh warga memang marak di Jakarta pada 1950-1960. Hal ini diungkapkannya dalam buku Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing During the Decolonization of Indonesia.
Freek mencatat, sempat ada 300 ribu hunian liar di 35 lokasi berbeda di Jakarta pada 1957. Pada 1959, pemerintah Jakarta melegalisasi beberapa kampung hunian liar, tetapi kampung-kampung yang mengganggu fasilitas publik dibongkar.
Profesor Studi Lingkungan di York University, Abidin Kusno, mengatakan legalisasi kampung di Jakarta kebanyakan dalam bentuk dokumen yang dikeluarkan oleh kantor kelurahan. Ini berbeda dengan izin tanah formal yang terdaftar di BPN.
Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria mengatur semua tanah negara seharusnya didaftarkan di BPN. Meski begitu, Abidin menemukan 70% tanah di Jakarta tidak diregistrasi di BPN tetapi di kelurahan pada pertengahan 1990-an.
“Status tanah (kelurahan) ini legal, tetapi tidak dianggap sah oleh BPN,” tulisnya dalam artikel “Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of Jakarta”.
Kampung Tanah Merah memiliki izin tanah yang dikeluarkan oleh kelurahan. Menurut catatan RUJAK, kepemilikan bangunan warga di Tanah Merah diterbitkan oleh Lurah Tugu Selatan M. Jusuf Said pada 1989.
Catatan historis ini membuktikan warga Kampung Tanah Merah memiliki hak yang setara dengan Pertamina untuk mengakui daerahnya sebagai tanah milik mereka. Ini juga yang menyebabkan status tanah di kawasan ini masih disengketakan hingga hari ini.
Referensi
Colombijn, Freek. 2010. Under Construction: The Politics of Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930-1960. Brill. (Akses 8 Maret 2023)
IAP DKI Jakarta. Rilis pers “IAP DKI: Penataan Ulang, Kunci Solusi Tragedi Plumpang”. 9 Maret 2023. (Akses 9 Maret 2023)
JDIH. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 soal Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. (Akses 7 Maret 2023)
Kementerian ATR/BPN. BHUMI. (Akses 6 Maret 2023)
Kompas.com. “Sejarah Tanah Merah Lokasi Kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Sejak Kapan Ditinggali Penduduk?” 6 Maret 2023. (Akses 8 Maret 2023)
Kusno, Abidin. 2012. “Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of Jakarta”. Indonesia, No. 94. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. (Akses 8 Maret 2023)
Pertamina. Laporan Keuangan 2015. (Akses 8 Maret 2023)
RUJAK Center for Urban Studies. Kilas Balik Perjuangan di Tanah Merah. (Akses 7 Maret 2023)
---------------
Jika Anda memiliki pertanyaan atau informasi yang ingin kami periksa datanya, sampaikan melalui email: cekdata@katadata.co.id.