Cek Data: Apakah Kenaikan PPN Mampu Dongkrak Rasio Pajak?
Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah menjadi atensi publik dalam beberapa bulan belakangan. Masyarakat, terutama di media sosial, ramai memperbincangkan persoalan ini. Belakangan, tak cuma PPN yang dibicarakan, masih rendahnya penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan rasio pajak (tax ratio) juga ikut jadi bahasan.
Kontroversi
Pada 23 Desember 2024, Irwan Prasetiyo, seorang pemengaruh di media sosial, mengunggah video singkat yang menyatakan persetujuannya terhadap kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Menurutnya, kebijakan itu demi meningkatkan rasio pajak yang masih rendah.
Irwan mengatakan, selama ini penerimaan pajak Indonesia minim lantaran banyaknya warga negara yang tidak membayar PPh orang pribadi karena penghasilannya yang kecil. Selain itu, dia juga menyebut 99% usaha di Indonesia masih berskala mikro.
“Yang punya usaha pun kebanyakan tidak bayar pajak penghasilan,” ujarnya di dalam video yang diunggah di platform TikTok.
Video singkat tersebut menuai reaksi warganet. Ferry Irwandi, juga seorang influencer, mengkritisi pandangan Irwan. Ferry menolak kebijakan kenaikan tarif PPN serta membandingkan realisasi hasil penerimaan pajak yang dilakukan negara-negara Skandinavia. “Lebih dari setengah penghasilan penduduk dipotong pajak,” ujar dia.
“Namun, masyarakat di sana terima-terima saja karena fasilitas mewah yang diterima oleh publiknya. Jaminan sosial, pendidikan, hingga kesehatan diberikan. Bahkan lapangan pekerjaan disediakan.”
Di Indonesia, alih-alih diberikan untuk publik, menurut Ferry, malah pejabat yang menikmati berbagai fasilitas yang berasal dari pajak.
Di change.org, sejak 19 November 2024, sudah ada lebih dari 200 ribu orang yang menandatangani petisi penolakan PPN 12%. “Naiknya PPN juga akan membuat naiknya harga barang. Kita sudah pasti ingat, sejak Mei 2024, daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas,” tulis inisiator petisi dalam pengantarnya.
Faktanya
Pajak Pertambahan Nilai
PPN adalah pungutan yang dibebankan atas setiap transaksi jual-beli barang dan jasa di dalam negeri yang dilakukan oleh orang pribadi, perusahaan, atau pemerintah. PPN merupakan jenis pajak tidak langsung karena dibayar oleh konsumen akhir, tetapi disetor oleh penjual atau penyedia jasa.
Indonesia pertama kali memperkenalkan PPN melalui pengesahan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Awalnya, tarif PPN ditetapkan 10%. Kemudian diimplementasikan sebagai bagian dari reformasi perpajakan menyeluruh demi menggantikan pajak penjualan yang dianggap rumit dan tidak efisien karena struktur tarifnya yang beragam.
Kenaikan PPN pertama kali terjadi pada 2022 dengan berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Saat itu pemerintah menetapkan tarif PPN 11%, dan harus mengerek PPN menjadi 12% pada 2025.
Jenis pajak ini merupakan salah satu tulang punggung penerimaan pajak Indonesia. Pada 2025, pemerintah menargetkan penerimaan PPN sebesar Rp917,7 triliun atau naik 18,2% dibandingkan target 2024.
Sebaliknya, meski dalam banyak kesempatan pemerintah menekankan bahwa kenaikan tarif PPN akan ditujukan untuk barang dan jasa premium, target penerimaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) justru turun. Pada 2025, pemerintah menargetkan PPnBM Rp16,6 triliun atau turun 39% dari target 2024.
Jika diterapkan kepada semua jenis barang dan jasa, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% akan langsung berdampak pada kelas menengah ke bawah. Ini karena kelompok berpendapatan rendah cenderung menghabiskan sebagian besar atau bahkan seluruh pendapatannya demi membeli kebutuhan pokok, seperti makanan atau transportasi, yang umumnya dikenai PPN.
Sementara itu, kelompok berpendapatan tinggi memiliki kemampuan menabung atau mengalokasikan uangnya untuk investasi, selain kemampuannya memenuhi berbagai kebutuhan pokok.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia pernah menganalisis dampak regresif dari pertambahan tarif PPN menjadi 11% yang terjadi pada 2022 lalu.
Meski kelompok kelas atas memiliki porsi pengeluaran PPN yang lebih besar ketimbang kelompok pendapatan lainnya, rumah tangga terkaya ternyata hanya mengalami kenaikan beban sebesar 0,62% dari kenaikan PPN 11%. Sedangkan rumah tangga miskin mengalami kenaikan lebih besar, yaitu 0,84%.
Minimnya dampak terhadap kelompok kaya juga bisa dilacak dari banyaknya insentif perpajakan yang justru dinikmati oleh kalangan menengah atas. Insentif mobil listrik, misalnya, tak lain merupakan PPN yang ditanggung pemerintah (DTP).
Pada Oktober 2023 lalu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengungkapkan, rata-rata pembeli mobil listrik bukan berasal dari first buyer atau pembeli pertama, melainkan mereka yang sudah memiliki mobil berbahan bakar fosil. Artinya, para pembeli mobil listrik berasal dari kelompok pendapatan yang punya kemampuan membeli mobil lebih dari satu.
Pajak Penghasilan
Adapun PPh merupakan jenis pajak yang dikenakan kepada setiap penghasilan per tahun wajib pajak individu dan perusahaan. UU HPP mengatur batas penghasilan kena pajak untuk orang pribadi minimal sebesar Rp54 juta per tahun atau setara Rp4,5 juta per bulan. Di bawah jumlah tersebut, wajib pajak dibebaskan dari PPh Pasal 21.
Tarif pajak yang dikenakan PPh individu pun beragam. Paling minim adalah 5% atas penghasilan per tahun hingga Rp60 juta. Sedangkan tertingginya adalah 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.
Selama ini, PPh merupakan kontributor tertinggi dalam realisasi penerimaan pajak. Pada 2025, pemerintah menargetkan penerimaan PPh Rp1.209,3 triliun atau setara 49,7% dari total sumber penerimaan pajak dalam negeri.
PPh terdiri dari beberapa jenis. Selain PPh untuk orang pribadi, di dalam maupun luar negeri, dan perusahaan, ada juga PPh migas dan nonmigas. PPh migas adalah pajak penghasilan yang dipungut dari kegiatan di sektor minyak dan gas bumi (migas). Sedangkan PPh nonmigas adalah penghasilan yang dipungut dari kegiatan di luar sektor migas seperti perdagangan, industri manufaktur, jasa keuangan, properti, teknologi, dan sebagainya.
Meski kontribusinya besar, penerimaan PPh di Indonesia dinilai belum maksimal. Hal ini lantaran tingkat upah yang diterima penduduk masih rendah. Pada Agustus 2024 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata upah atau gaji di Indonesia berada di kisaran Rp3,26 juta. Selama hampir satu dekade, jumlah itu hanya meningkat Rp1,28 juta dari rata-rata gaji 2015 yang sebesar Rp1,98 juta.
Jika merujuk data, maka rata-rata orang Indonesia memiliki penghasilan di bawah batas kena pajak karena hanya mampu mengumpulkan sekitar Rp39,12 juta per tahun.
Selain itu, struktur ketenagakerjaan di Indonesia pun masih timpang. BPS mencatat, terdapat 215,37 juta penduduk usia kerja per Agustus 2024. Namun, hanya 144,64 juta orang yang bekerja. Selebihnya sedang menganggur sebanyak 7,47 juta orang dan sebanyak 63,26 orang bukan termasuk angkatan kerja. Kategori yang terakhir itu merujuk pada para pelajar, ibu rumah tangga, dan golongan lainnya yang tidak disebutkan secara rinci oleh BPS.
Tak hanya itu, dari 144,64 juta orang yang bekerja, mayoritas atau 57,95% bekerja di sektor informal. Pekerja informal termasuk mereka yang berusaha sendiri, berusaha sendiri yang dibantu buruh tidak tetap, pekerja lepas, atau pekerja keluarga/tidak dibayar. Sedangkan pekerja formal adalah yang para buruh, karyawan, dan pegawai, serta mereka yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Para pekerja formal ini biasanya memiliki penghasilan tetap.
Struktur ketenagakerjaan yang timpang juga disebabkan jumlah pencari kerja dan ketersediaan lowongan kerja yang tidak proporsional. Pada 2022, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 939 ribu pencari kerja, tetapi hanya ada 72 ribu lowongan kerja yang tersedia.
Pada 2023, meski proporsinya agak membaik, jumlah pencari kerja lebih dari dua kali lipat banyaknya dari lowongan kerja yang tersedia.
Penghasilan rata-rata yang rendah hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan belum maksimalnya penerimaan pajak di Indonesia. Faktor lain, misalnya, tarif PPh bagi orang-orang berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun hanya sebesar 35%.
Tarif PPh untuk orang-orang super kaya di Indonesia relatif jauh lebih rendah dibandingkan negara lain. Kami menggunakan daftar tarif PPh global yang telah dikurasi Trading Economics, lalu membandingkan tarifnya berdasarkan kelompok pendapatan tertentu yang dihimpun oleh PricewaterhouseCoopers (PwC).
Dari daftar di atas, hanya Spanyol yang menerapkan PPh tertingginya untuk orang berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun. Namun, dengan tarif yang jauh lebih tinggi yakni 47%.
Mengapa Rasio Pajak Indonesia Rendah?
Rasio pajak adalah indikator penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini berfungsi untuk mengukur kinerja penerimaan pajak suatu negara, dan seberapa mampu pemerintah membiayai keperluan negara dengan sumber dayanya sendiri.
Irwan Prasetiyo juga mengutip pernyataan Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang menyebut-nyebut rendahnya rasio pajak Indonesia di sebuah forum internasional. Karena itulah Irwan mendukung kenaikan PPN agar Indonesia dapat meningkatkan rasio pajak.
Masalahnya, data menunjukkan tarif PPN yang tinggi bukan berarti otomatis mengerek rasio pajak. Thailand, misalnya, yang memiliki rasio pajak di atas 15%, hanya menerapkan tarif PPN 7%. Dengan rasio pajak tertinggi di ASEAN, Thailand justru menerapkan tarif PPN yang rendah.
Selama ini, rasio pajak Indonesia cenderung stagnan. Pada masa pandemi, rasio pajak merosot ke level 8,31%, lalu naik hingga 10,22% pada 2022. Setelah penerapan PPN 11%, rasio pajak Indonesia justru turun ke level 10,1% pada 2023.
Pergerakan rasio pajak Indonesia memiliki kemiripan dengan Malaysia, yang juga terkontraksi selama pandemi. Namun, dengan tarif PPN 10%, rasio pajak Malaysia cenderung bertahan di rata-rata 11,86%. Tahun lalu, Negeri Jiran bahkan mencatatkan rasio pajak hingga 12,40%.
Karena itu ada banyak faktor mengapa rasio pajak di Indonesia tak pernah berhasil menembus atau bahkan menyentuh 11%. Laporan Tax Justice Network yang dirilis 19 November 2024 menunjukkan, penghindaran pajak yang dilakukan berbagai korporasi besar dan multinasional juga berkontribusi pada rendahnya penerimaan pajak.
Sepanjang 2024, Indonesia diperkirakan kehilangan sedikitnya US$2,98 miliar setara Rp47,06 triliun (kurs Rp16.230) akibat penghindaran pajak. Hal itu mencakup pemindahan keuntungan ke negara lain yang diperkirakan mencapai US$13,5 miliar atau Rp219,91 triliun.
Berbagai insentif perpajakan yang diberikan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak juga dinilai tidak berjalan maksimal. Umpamanya, tax amnesty atau program pengampunan pajak.
Dari total harta terungkap senilai Rp4.854,6 triliun pada pengampunan pajak jilid I yang berlangsung pada 2016-2017, pemerintah hanya memperoleh komitmen repatriasi senilai Rp147 triliun dari target Rp1.000 triliun, dan hanya mengumpulkan tebusan Rp114 triliun dari target Rp165 triliun. Kedua perolehan itu masing-masing hanya mencakup 14,6% dan 69% dari target.
Adapun nominal harta yang diungkap dalam pengampunan pajak jilid II pada 2022 hanya Rp594,82 triliun. Nilai repatriasi dan tebusannya yang berhasil dibukukan pemerintah masing-masing senilai Rp13,7 triliun dan Rp61,01 triliun.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Jaya Darmawan menilai, berbagai insentif perpajakan di Indonesia lebih banyak menguntungkan para orang-orang super kaya, dan menyebabkan rasio pajak Indonesia selama ini mandek.
Dia pun mendorong pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan perpajakan. Di antaranya fasilitas pajak untuk perusahaan modal ventura; pembebasan pajak penghasilan atas dividen; pemupukan dana cadangan; PPh ditanggung pemerintah; PPh DTP untuk energi panas bumi; penghapusan bea masuk dan cukai untuk kawasan ekonomi khusus; dan pembebasan bea masuk untuk barang berdasarkan kontrak.
“Ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa insentif pajak yang ada tidak hanya memperkaya segelintir konglomerat,” kata Jaya dalam tulisannya di The Conversation Indonesia pada 17 Oktober 2024.
Referensi:
Badan Pusat Statistik. 2024. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia (diakses 27 Desember 2024)
Badan Pusat Statistik. 2024. Rata-rata Upah/Gaji di Indonesia (diakses 27 Desember 2024)
Bank Dunia. 2024. Rasio Pajak di ASEAN (diakses 31 Desember 2024)
Databoks Katadata. 2024. Menilik Perbandingan Hasil Tax Amnesty I dan II (diakses 27 Desember 2024)
Jaya Darmawan. 2024. Penyebab Melebarnya Ketimpangan Ekonomi dari Sudut Pandang Perpajakan (diakses 30 Desember 2024)
Kementerian Ketenagakerjaan. 2023. Ketenagakerjaan Dalam Data Edisi 1 (diakses 29 Desember 2024)
Kementerian Ketenagakerjaan. 2023. Ketenagakerjaan Dalam Data Edisi 2 (diakses 29 Desember 2024)
LPEM FEB UI. 2024. Indonesia Economic Outlook 2025 (diakses 31 Desember 2024)
PricewaterhouseCoopers. 2024. Taxes on Personal Income (diakses 27 Desember 2024)
Tax Justice Network. 2023. The State of Tax Justice 2023 (diakses 30 Desember 2024)
Trading Economics. 2024. List of Countries by Personal Income Tax Rates (diakses 27 Desember 2024)