Teknologi Kecerdasan Buatan Dinilai Melanggar Hak Cipta Jurnalis
Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT dinilai melanggar hak cipta jurnalisme. Hal ini dikaji ketika pemerintah tengah menyusun Peraturan Presiden alias Perpres Publisher Rights.
Wakil Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo Nezar Patria mengatakan perlindungan hak cipta jurnalisme menjadi sangat serius. Sebab, akses terhadap informasi dan data oleh AI berpotensi besar melanggar hak cipta.
“Jadi AI langsung mengambil banyak data yang diproduksi oleh para penulis, termasuk gambar dan suara,” ujar Nezar dalam acara Indonesia Digital Conference 2023 bertajuk ‘Artificial Intelligence for Business Transformation: Tantangan Etik, Inovasi, Produktivitas, dan Daya Saing di berbagai Sektor’ yang digelar secara virtual, Selasa (22/8).
Menurutnya, kehadiran teknologi kecerdasan buatan mengkhawatirkan. Sebab, AI mengambil data, kemudian digunakan untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Hal itu bisa merugikan pencipta konten, terutama karya-karya yang dilindungi oleh hak cipta termasuk berita yang dibuat oleh jurnalis.
Dalam pemaparannya, Nezar membagikan isu penting terkait AI, termasuk dampak terhadap jurnalisme, sebagai berikut:
1. Potensi konten yang salah dan misinformasi
Teknologi Al perlu belajar terus menerus. Oleh karena itu, Nezar khawatir konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan bisa menimbulkan kesalahan hasil analisis yang mengakibatkan misinformasi atau kekeliruan pemberian informasi tanpa niatan jahat.
2. Privasi dan kerahasiaan
Teknologi kecerdasan buatan memerlukan akses data dan informasi untuk memberikan hasil analisis. Data dan informasi yang tersimpan dapat melanggar perlindungan privasi dan kerahasiaan suatu entitas.
3. Disinformasi, toxicity dan ancaman berbasis siber
Kemampuan Al mengolah informasi dalam bentuk lain berupa gambar dan/atau video yang seolah nyata, sehingga dapat menimbulkan disinformasi, lingkungan yang toxic atau merugikan, dan ancaman siber.
4. Tantangan perlindungan hak cipta
Akses terhadap informasi dan data oleh Al berpotensi melanggar hak cipta pihak lain. Pembuatan karya derivatif dari ciptaan milik pihak lain tanpa izin merupakan pelanggaran hak cipta.
5. 'Warisan' bias dalam implementasi AI
Informasi dan data yang diproses oleh teknologi Al merupakan buatan manusia dalam hal ini jurnalis, sehingga memiliki bias. Akibatnya hasil olahan informasi dan data Al juga berpotensi mengandung bias bahkan bersifat diskriminatif.
6. Pemahaman nilai kemanusiaan dan tantangan perintah
Al memerlukan kemampuan menerjemahkan perintah pengguna, supaya dapat bermanfaat secara produktif. Selain pemberian perintah yang jelas, batasan bantuan Al yang bersifat harmless dan helpfull perlu diatur.
Ketua umum Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI Wenseslaus manggut juga menyoroti adanya pelanggaran hak cipta atas konten-konten karya jurnalistik.
“AMSI sangat mendorong Publisher Rights ini sebetulnya. Sebelum dia kehilangan relevansinya,” ujar Wenseslaus.
Sebelumnya, AMSI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Indonesian Digital Association (IDA) meminta Presiden Joko Widodo mengkaji lagi isi Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme yang Berkualitas.
Hal itu karena beberapa poin dalam rancangan payung hukum tersebut belum disepakati seluruh pemangku kepentingan industri media. Wenseslaus mengatakan substansi Perpres ini, seharusnya tak lepas dari usaha memperbaiki industri jurnalisme Indonesia. Namun ia mengingatkan agar platform digital perlu dilibatkan.