Teknologi AI Makin Canggih dalam Prediksi Tanda-tanda Kiamat
NASA dan peneliti University of Leeds di Inggris menggunakan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) untuk mendeteksi bencana alam seperti gunung es yang mencair dan badai matahari.
Gunung es mencair akibat pemanasan global bisa berdampak buruk terhadap alam, seperti membuat permukaan laut naik sehingga menenggelamkan kota, menghambat pertumbuhan terumbu karang, perubahan iklim hingga mengancam habitat hewan.
Sementara itu, badai matahari bisa merusak satelit sehingga mengganggu konektivitas di Bumi dan membuka celah medan magnetik sekitar kutub.
Mahasiswa PhD di University of Leeds di Inggris Anne Braakmann-Folgmann pun melakukan penelitian menggunakan teknologi AI untuk mendeteksi proses pencairan gunung es.
Studi yang diterbitkan di The Cryosphere menyebutkan, tidak mudah untuk menemukan dan memantau gunung es raksasa, apalagi mengukur berapa banyak air lelehan yang dihasilkan. Sebab gunung es sering kali tersembunyi oleh awan, dan dapat tertukar dengan fitur lain dalam gambar satelit.
Anne Braakmann-Folgmann memakai teknologi AI untuk memetakan gunung es raksasa di Antartika menggunakan gambar radar dari misi Copernicus Sentinel-1. Selain itu, menaruh alat untuk memahami peran gunung es di lingkungan Antartika.
Tidak seperti instrumen seperti kamera, radar dapat menembus awan dan bekerja dalam kegelapan, sehingga cocok untuk mengamati wilayah Antartika.
Pada sebagian besar gambar radar, gunung es tampak sebagai titik terang dengan latar belakang lautan dan es laut yang lebih gelap, sehingga lebih mudah dideteksi.
Namun, terdapat tantangan seperti membedakan gunung es dari es laut yang kasar atau es yang tertiup angin. Selain itu, sulit memisahkan gunung es utama dengan yang hanya berupa pecahan kecil.
Tantangan lainnya yakni garis pantai Antartika terkadang terlihat seperti gunung es dalam gambar radar.
Karyawan di Universitas Arktik Norwegia di Tromsø itupun menggunakan jaringan saraf, sejenis teknologi AI yang dapat belajar dari data dan membuat prediksi.
Jaringan syaraf dirancang untuk memetakan luas gunung es pada gambar radar, dengan mempertimbangkan hubungan yang kompleks dan non-linear antara piksel gambar dan kontur gunung es.
Jaringan syaraf tiruan dilatih menggunakan garis kontur gunung es yang digambar secara manual sebagai target. Jaringan ini dapat menyempurnakan prediksi dengan membandingkan gambar dan target, lalu menyesuaikan parameternya.
Pelatihan berhenti secara otomatis ketika jaringan saraf mencapai kinerja terbaik, memastikan keandalan, dan kemampuan beradaptasi.
Penelitian Anne menguji jaringan saraf pada tujuh gunung es raksasa, dengan ukuran mulai dari 54 – 1.052 km persegi. Ukuran gunung es ini masing-masing sebanding dengan wilayah Bern di Swiss dan Hong Kong.
Gunung-gunung es tersebut diamati dalam pengaturan yang berbeda, seperti musim dan tahun, menggunakan 15 dan 46 gambar radar untuk setiap gunung es. Dataset ini mencakup periode dari 2014 hingga 2020.
Hasil penelitian Anne menunjukkan bahwa jaringan syaraf tiruan sangat efektif dalam memetakan luas gunung es, bahkan dalam kondisi yang sulit.
Jaringan juga mampu mengidentifikasi gunung es terbesar di setiap gambar. Hal ini penting untuk melacak perubahan luas dan ketebalan gunung es dari waktu ke waktu.
Jaringan syaraf tiruan dinilai mengungguli algoritme segmentasi standar, yang sering kali memilih gunung es yang lebih kecil atau garis pantai, bukan gunung es yang sebenarnya.
NASA Deteksi Badai Matahari
NASA atau Badan Antariksa Amerika Serikat dikabarkan sedang membuat alat berbasis teknologi kecerdasan buatan yang mendeteksi data badai matahari. Alat ini diklaim dapat memperkirakan kiamat 30 menit sebelum terjadi.
Kiamat yang dimaksud yakni terjadinya badai matahari yang berpotensi menghancurkan wilayah tertentu. Sekitar 35 tahun lalu, badai matahari membuat listrik mati selama berjam-jam di Quebec, Kanada.
Lalu, infrastruktur listrik dan komunikasi di Carrington, Inggris rusak parah pada lebih dari 150 tahun lalu akibat badai matahari.
Alat berbasis teknologi AI buatan NASA itu nantinya mengukur cahaya sebagai bahan pembuat sinyal radio. Cahaya bergerak lebih cepat ketimbang material surya yang dikeluarkan oleh Matahari jika terjadi badai matahari.
Selain itu, NASA mengandalkan satelit yang selama ini digunakan untuk mengidentifikasi badai matahari. Satelit yang dimaksud termasuk ACE, Wind, IMP-8, dan Geotail yang memasok data ke tim NASA.
Dikutip dari Science Alert, para ilmuwan mulai melatih model pembelajaran mendalam yang diberi nama DAGGER. Model ini disebut memiliki beberapa spesifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan algoritme prediktif lainnya.
Yang paling menonjol dari DAGGER adalah kecepatan.
Para peneliti dari Pusat Antar Universitas untuk Astronomi dan Astrofisika di India mengklaim, algoritme DAGGER dapat memprediksi tingkat keparahan dan arah kejadian badai matahari dalam waktu kurang dari satu detik dan mampu membuat prediksi setiap menit.