AIC Usulkan Moratorium WTO untuk E-commerce Jadi Permanen
Asia Internet Coalition (AIC), asosiasi industri yang terdiri atas perusahaan-perusahaan teknologi dan internet terkemuka, mengusulkan agar moratorium World Trade Organization (WTO) untuk perdagangan elektronik (e-commerce) lintas negara menjadi permanen. Kebijakan tersebut diyakini akan mendukung pertumbuhan ekonomi digital di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Jeff Paine, Managing Director the Asia Internet Coalition (AIC), mengatakan moratorium WTO ini pertama kali diperkenalkan pada 1998 untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi digital. Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-12 pada 2022, negara-negara anggota sepakat untuk tetap membebaskan bea masuk e-commerce lintas negara maksimal hingga Maret 2024.
"Sudah setiap beberapa tahun mereka membahas moratorium ini dan ketika mereka mengadakan Konferensi Tingkat Menteri ke-13 pada akhir Februari di Dubai, Uni Emirat Arab, ini akan dibahas lagi. Pada dasarnya usulan kami adalah agar tidak ada lagi tarif pada perdagangan elektronik lintas negara," ujar Paine dalam wawancara dengan Katadata.co.id, pekan lalu.
Beberapa negara, termasuk Indonesia, memang melihat moratorium ini berpotensi menghapus pendapatan dari bea masuk impor transaksi digital lintas negara ini. Namun, beberapa studi yang dilakukan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) maupun WTO itu sendiri menunjukkan bahwa negara-negara harus memikirkan hal-hal lain di luar penerimaan bea masuk.
AIC, yang berbasis di Singapura, mengirimkan surat yang mewakili para pelaku industri kepada pemerintah di Singapura, Indonesia, dan negara-negara lain di Asia pada saat KTM ke-12 dilaksanakan.
"Ada 90 asosiasi dan pada dasarnya kami menekankan pada pentingnya moratorium ini agar masyarakat bisa melakukan transaksi e-commerce lintas negara. Ini sangat penting pada saat pandemi Covid-19 dan kita semua merasakan pentingnya ekonomi digital ini," ujarnya.
Menurut AIC, jika moratorium WTO ini tidak menjadi permanen maka setiap dua tahun sekali negara-negara anggota harus berkumpul dan kembali berdiskusi mengenai hal ini. Paine mengatakan ada banyak studi yang telah dilakukan dan potensi pendapatan bea masuk yang hilang dari negara-negara anggota WTO relatif kecil secara persentase, kurang dari 1%.
"AIC menyebutnya sebagai biaya kolateral. Jika Anda tidak menginginkan moratorium ini dilanjutkan, akan ada banyak biaya-biaya yang muncul dan ini akan dibebankan kepada konsumer," kata Paine. Kenaikan biaya-biaya ini akan berdampak pada inflasi.
Paine mengatakan, pemerintahan tentu tidak ingin usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berhenti menggunakan teknologi digital karena hal ini akan melukai inovasi dan kemampuan mereka untuk mengembangkan bisnisnya. "Jika kenaikan biayanya terlalu besar, mungkin mereka akan mengurangi penggunaan layanan digital," ujarnya.
Jika UMKM di Indonesia memproduksi barang atau jasa kemudian ingin mengekspornya ke negara lain, misalnya Malaysia, tetapi biaya transaksi di e-commerce tinggi. Hal ini akan membuat produsen maupun konsumen akan pikir-pikir untuk bertransaksi di platform e-commerce. Dampak lainnya yang tidak diinginkan adalah pengangguran. "Jika bisnis (UMKM) terhambat, tentu akan ada dampak negatif terhadap lapangan kerja," tuturnya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan menyebut sejumlah negara berkembang anggota WTO berkeinginan agar bea masuk e-commerce diterapkan agar bisa menjadi salah satu penerimaan negara. Dengan adanya moratorium WTO, negara-negara berkembang tidak bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan digital lintas negara. Menurut hitungan pemerintah Indonesia, potensi penerimaan bea masuk yang hilang dengan adanya moratorium tersebut mencapai US$ 54 juta atau sekitar Rp 842,4 miliar per tahun.
Menurut laporan e-conomy SEA 2023 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, potensi ekonomi digital Indonesia di 2025 mencapai US$146 miliar atau Rp 2.277,6 triliun. Sekitar US$82 miliar atau Rp 1.279,2 triliun dari potensi ekonomi digital itu berasal dari e-commerce.
"Jika Anda melihat beberapa marketplace yang besar, banyak pengguna menjual barang bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Thailand, dan mereka mengekspor ke banyak negara. Itu kekuatan yang sebelumnya tidak ada, jadi e-commerce ini merupakan hal yang positif bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga Asia Tenggara," jelasnya.