Kominfo Ajak BPKN dan YLKI Bahas Sanksi First Media dan Bolt
Tunggakan utang atas frekuensi 2,3 Ghz oleh PT First Media Tbk dan PT Internux (Bolt) telah jatuh tempo pada 17 November lalu. Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mamsih menunda sanksi pencabutan izin penggunaan frekuensi demi pelanggan
Kementerian Kominfo pun mengajak diskusi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk mengambil keputusan. "Kementerian Kominfo harus memikirkan pelanggan, maka kami koordinasi dengan BPKN dan YLKI," ujar Menteri Kominfo Rudiantara di sela-sela acara Digital Start Up Connect 2018 di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (7/12).
Menurutnya, kepentingan pelanggan adalah satu satu hal utama yang harus diperhatikan. "Jangan sampai ada pelanggan yang masih punya pulsa, karena sanksi ini, pulsanya hilang," kata Rudiantara.
Saat ini, kedua perusahaan di bawah naungan Grup Lippo itu juga sudah diminta menyusun skema layanan supaya pelanggan tidak dirugikan atas pengenaan sanksi ini. Terutama Bolt, yang hanya mengandalkan frekuensi 2,3 Ghz dalam menyediakan layanannya.
(Baca juga: Tunggu Keputusan Kominfo, First Media Hentikan Pembelian Baru)
Sementara First Media memiliki infrastruktur selain 2,3 Ghz, yakni layanan televisi kabel dan internet pita lebar berbasis kabel (fixed broadband cable). Infrastruktur ini menggunakan teknologi Hybrid Fiber Coaxial (HFC) dan fiber to the home(FTTH) yang menggunakan kabel serat optik (fiber) sebagai medium penghantar.
Bisa juga, kedua perusahaan ini mengalihkan pelanggan ke perusahaan lain. "Tapi itu sifatnya business to business (B2B)," kata dia. Hanya, tentu saja, kebijakan yang diambil tidak boleh merugikan pelanggan. Rudiantara juga enggan menyampaikan tenggat waktu pengambilan keputusan.
Adapun First Media menunggak biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi pada 2016 dan 2017 senilai Rp 364,84 miliar. Begitu pun Bolt yang menunggak selama dua tahun sehingga harus membayar Rp 343,58 miliar. Selain itu, PT Jasnita Telekomindo menunggak BHP frekuensi selama dua tahun senilai Rp 2,2 miliar memilih mengembalikan izin.