Pencurian Bitcoin dari Sistem Blockchain Diklaim Butuh Rp 70 Triliun
Co-Founder Indonesian Blockchain Network Kenneth Destian Tali mengklaim sistem blockchain begitu aman hingga dibutuhkan dana besar untuk menerobosnya. Menurutnya, perlu sekitar US$ 5 miliar atau setara Rp 70 triliun lebih jika ingin mencuri bitcoin dari sistem blokchain.
Angka tersebut dihitung dari perangkat keras (hardware) yang harus dibeli si peretas, juga listrik yang harus disediakan. "Untuk hardware itu sekitar US$ 5 miliar. Itu untuk mendapatkan 51% dari hashrate blockchain bitcoin," kata dia saat acara Journalist Class bertema 'perkembangan teknologi blockchain' di Wisma Barito, Jakarta, Jumat (25/5).
Menurutnya, untuk memecahkan satu kode kompleks atau istilahnya menambang satu bitcoin saja butuh hardware khusus yang harganya bisa mencapai ribuan dolar AS. Apalagi, jika ingin membobol hashrate atau alat ukur dari processing power yang dimiliki jaringan Bitcoin, maka hardware yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
"Dulu pakai perangkat komputer rumahan saja bisa. Sekarang sudah tidak bisa. Butuh mesin atau alat khusus," ujar pria yang akrab disapa Ken ini.
(Baca juga: Disebut Halal, Masjid di London Terima Sedekah Bitcoin)
Selain hardware, listrik yang dibutuhkan sangat besar. Sebab, pencuri harus meretas enkripsi satu per satu dari pemilik bitcoin yang ada di sistem tersebut. Tentu, itu membutuhkan waktu dan listrik. Ia memperkirakan, biaya untuk listriknya mencapai US$ 3,9 juta atau setara Rp 54,6 miliar.
Bahkan, data Digiconomist menunjukkan, industri penambangan cryptocurrency secara global menelan 0,17% konsumsi listrik dari lebih 161 negara pada 2017. "Meski biayanya besar, pencuri memang masih mendapat insentif dari sekian banyak bitcoin yang dicuri. Apalagi harganya masih di kisaran US$ 9.200 per bitcoin saat ini," kata dia.
Lalu bagaimana dengan kasus pencurian di Coincheck yang terjadi di Jepang, beberapa waktu lalu? Menurutnya itu terjadi karena bitcoin milik masyarakat Jepang ditempatkan di server milik Coinchek yang berada di luar ekosistem blockchain.
Menurut Ken, itu karena bitcoin dijadikan sebagai instrumen investasi. Alhasil, sedikit kelemahan dari server bisa menjadi celah bagi pencuri.
(Baca juga: Jumlah Investor Bitcoin Hampir Menyamai Bursa Efek Indonesia)
Kondisinya akan berbeda jika pemilik memegang sendiri bitcoinnya di sistem blockchain. Sebab, setiap pemilik akan memiliki dompet digitalnya masing-masing berupa private key. Nah, enkripsi dari private key ini lah yang harus dipecahkan oleh si pencuri. Dengan jaringan yang terkait, kode yang harus dipecahkan bukan hanya private key dari si A tetapi juga dari anggota blockchain lainnya.
Sistem keamanan berantai itulah yang menurutnya membuat banyak perusahaan ingin mengadopsi blockchain. Ia berpandangan, blockchain akan membawa manfaat yang maksimal jika digunakan untuk berbagi data antar perusahaan. "Seperti holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau malah BUMN keseluruhan pakai itu lebih bagus," kata Ken. Hanya, itu kembali lagi dari mau tidaknya perusahaan berbagi data.