BI: 4 Aktivitas Mata Uang Digital Berisiko Tinggi dan Perlu Diatur
Bank Indonesia (BI) menilai mata uang digital berisiko tinggi sehingga perlu diatur. Dalam paparan kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Senin (15/1), BI membeberkan sederet risiko mata uang digital seperti bitcoin, mulai dari sebagai mata uang atau alat pembayaran hingga untuk instrumen investasi. Bursa yang memfasilitasi transaksi komoditas ini pun tak lepas dari sorotan BI.
Ada empat aktivitas mata uang digital yang menurut BI mengandung risiko tinggi dan perlu diatur. Pertama, sebagai alat pembayaran. BI menilai mata uang digital berisiko dengan pertimbangan mata uang digital tidak diterbitkan oleh otoritas moneter/otoritas berwenang, tidak memenuhi karakteristik uang, dan tidak mempunyai status hukum yang jelas.
Kedua, sebagai komoditas. BI menilai mata uang digital berisiko lantaran tidak memiliki jaminan aset (underlying asset) yang mendasari nilainya, melainkan hanya berdasarkan algoritma matematis. Selain itu, volatilitas harga sangat tinggi dan adanya ketidakpastian pasokan di masa mendatang karena beberapa uang digital membatasi penerbitan hingga jumlah tertentu.
(Baca juga: Kepanikan Melanda Investor, Harga Mata Uang Digital Berjatuhan)
BI juga menyoroti ketiadaan administrator yang bertanggung jawab atas penerbitannya, dan adanya potensi mata uang digital dimanfaatkan sebagai regulatory arbitrage karena transaksi dapat dilakukan dari negara lain dengan ketentuan yang lebih akomodatif.
Ketiga, penyelenggara bursa mata uang digital (exchange) dan penyedia dompet mata uang digital (wallet) juga tak lepas dari sorotan BI. “Penyelenggara virtual currency tidak diatur otoritas manapun sehingga tidak memiliki kewajiban kehati-hatian sebagaimana institusi formal lainnya,” demikian tertulis dalam materi paparan BI.
Berdasarkan kajian BI, kebanyakan penyelenggara juga tidak memiliki kantor fisik, hanya situs web yang tidak jelas yurisdiksinya. Maka itu, ada risiko tinggi dalam hal perlindungan konsumen. Selain itu, tidak adanya know your customer (KYC) dan monitoring sehingga transaksi berpotensi untuk aktivitas ilegal.
Keempat, aktivitas initial coin offering (ICO) yang dilakukan perusahaan startup mata uang digital untuk mencari pendanaan. Lewat ICO, startup menawarkan mata uang digital baru kepada investor untuk ditukar dengan mata uang digital lainnya seperti bitcoin atau ethereum.
BI menilai ICO berisiko lantaran tidak diawasi oleh otoritas, alhasil tidak ada penilaian terhadap institusi dan penetapan nilai tidak jelas. Selain itu, ICO didasarkan pada proposal yang tidak ada verifikasi oleh pihak berwenang sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi, coin rentan digunakan untuk aktivitas ilegal.
BI juga menyoroti risiko konvertabilitas, yakni risiko investor tak bisa mencairkan nilai investasi dari coin karena pasar sekunder yang tidak berkembang. Kemudian, tidak ada pengawasan terhadap penggunaan dana yang berhasil dikumpulkan.
Atas dasar itu, BI pun mengeluarkan kebijakan yang pada intinya melarang penggunaan mata uang digital untuk alat pembayaran. Larangan BI sebatas sebagai alat pembayaran lantaran wewenang BI memang hanya terkait pengaturan dan pengawasan sistem pembayaran. Selebihnya, pengaturan terkait investasi ataupun perdagangan komoditas, ada di institusi lain.
(Baca juga: Dilarang Jadi Alat Bayar, Status Mata Uang Digital Mengambang)
Pada 2016 lalu, BI menerbitkan PBI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran dan PBI/19/12/PBI/2017 tentang penyelenggaraan teknologi finansial. Dalam dua aturan itu, terdapat pasal yang melarang penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara teknologi finansial untuk melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan mata uang digital.
Kedua aturan itu juga didasari oleh Undang-Undang Mata Uang yang menyatakan rupiah sebagai satu-satunya mata uang yang sah dan mewajibkan transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah.