Batasan Tarif Taksi Online Tak Bisa Diakali Promo
Tarif batas bawah dan atas taksi online akan mulai berlaku pada 1 April 2017 mendatang. Kementerian Perhubungan memastikan regulasi itu tak bisa diakali dengan tarif promo atau potongan harga dari penyedia jasa taksi online.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto mencontohkan, semisal batas bawah taksi dari jalan A sampai B Rp 40 ribu, maka taksi online tidak boleh memberikan harga Rp 10 ribu. “Kalau ada promo ya tadi Rp 40 ribu," katanya saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Rabu (22/3).
Menurut Pudji, penentuan tarif tersebut nentinya akan diputuskan oleh Pemerintah Daerah setempat. Dengan begitu, semua perusahaan penyedia jasa angkutan, baik yang konvensional maupun online harus taat aturan di daerah operasionalnya masing-masing.
(Baca juga: Pemerintah Serahkan Penentuan Tarif Taksi Online ke Pemda)
Sampai dengan saat ini, Pudji menyatakan bahwa jajarannya masih memfinalisasi aturan penyelenggaraan taksi online yang dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri Nomor 32 tahun 2016. Dirinya tidak menutup kemungkinan masih adanya revisi terkait peraturan tersebut. Namun, ia memastikan tidak akan menunda pemberlakuan aturan tersebut, yakni tetap 1 April 2017.
Sementara itu, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menungkapkan, pihaknya bersama dengan penyedia aplikasi transportasi online besar lainnya masih keberatan dengan regulasi tersebut. Menurutnya, terdapat tiga poin yang dinilainya memberatkan.
Yang pertama adalah soal penerapan tarif atas dan tarif bawah. Menurut Ridzki, aturan tersebut akan mengintervensi mekanisme pasar dalam penentuan tarif.
(Baca juga: Menhub: Ricuh Taksi Online dan Konvensional Dipicu Provokator)
Selain itu, keberatan lainnya terkait adanya batas kuota kendaraan. Menurut Ridzki, pembatasan jumlah kendaraan ini akan membatasi publik untuk mendapatkan layanan yang diinginkan.
Ketiga, terkait aturan kepemilikan kendaraan. Ridzi menjelaskan, hal ini yang paling memunculkan kekhawatiran. Alasannya, mitra pengemudi harus melakukan balik nama atas kendaraan pribadinya menjadi nama perusahaan atau koperasi.
Hal tersebut menyebabkan kemunduran karena menempatkan perusahaan di atas mitra pengemudi. Padahal, dengan kepemilikan pribadi, maka pengemudi akan memegang kendali penuh atas kendaraan yang dimilikinya. "Ini bertentangan dengan prinsip koperasi itu sendiri. Yang juga bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan," ujar Ridzki.