Koalisi Sipil: Masih Banyak Pasal Bermasalah di Revisi UU ITE
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) resmi berlaku setelah diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2024. Beleid baru ini memuat sejumlah pasal yang dianggap sebagian masyarakat kontroversial.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menilai, revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut dinilai dapat menjadi ancaman bagi publik untuk mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Executive Director Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden S. Arum mengatakan, formulasi pada pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian memang jadi lebih rigid. Namun, menurut dia, masih ada pasal-pasal tambahan yang dinilai sama bahayanya dengan pasal-pasal yang selama ini dianggap karet dan sudah direvisi.
Ia mencontohkan, pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang, pasal 27B tentang ancaman pencemaran, pasal 28 ayat 3, dan pasal 45A ayat 3 tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru.
“Penjelasannya masih belum eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan ancaman pencemaran, dan apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong,” kata Nenden kepada Katadata.co.id, Jumat (5/1).
Ia menilai, hal-lah tersebut memungkinkan ada multitafsir dalam implementasinya. Menurut dia, pasal-pasal ‘karet’ ini berpotensi disalahgunakan pemanfaatannya sesuai dengan interpretasi masing-masing. “Nah itu lah yang biasa disebut dengan kriminalisasi,” kata dia. .
Koalisi Serius mengatakan, UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
“Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya,” kata Koalisi Seirus dalam keterangan pers, Kamis (4/1).
Koalisi Serius menyoroti tertutupnya proses revisi UU ITE sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Menurut mereka, urangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi tersebut menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama. Pasal-pasal bermasalah itu antara lain:
- Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil
- Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik
- Ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B
Sebanyak 68 organisasi global sebelumnya juga menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Koalisi Serius menilai, kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Melihat berbagai masalah yang masih ada pada hasil revisi kedua UU ITE, Koalisi Serius menyatakan:
- Menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya;
- Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.
- Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.
Berikut poin-poin revisi UU ITE jilid II yang sudah ditandatangani Jokowi:
Pasal pencemaran nama baik
Pasal kontroversial yang hilang dalam aturan baru yakni Pasal 27 Ayat (3) yang mengatur pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Sebagai gantinya, UU ITE hasil revisi mencantumkan pasal baru yaitu Pasal 27A dan 27B. Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang dan Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.
Pasal 27A berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik".
Pasal 27B ayat (1) berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
- Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
- Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pasal 27B ayat (2) berbunyi : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
- Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
- Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pasal penyebaran berita bohong
UU ITE terbaru ini menambahkan aturan soal larangan menyebarkan berita bohong, yakni pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat 3 tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru.
Pasal 28 ayat 3 berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Pasal ancaman pribadi
Revisi UU ITE mengubah ketentuan pasal 29, yang awalnya mengatur ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi.
Versi revisi menghilangkan ketentuan "pribadi". Adapun bunyi pasal 29 di UU ITE jilid II menjadi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti."
Pasal pelindungan anak
Terdapat pasal baru dalam UU ITE untuk melindungi anak-anak secara online yang termuat dalam pasal 16A
Adapun, pasal 16A berbunyi : “Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memberikan pelindungan bagi anak yang menggunakan atau mengakses Sistem Elektronik.”
Pelindungan terhadap hak anak mengenai penggunaan produk, layanan, dan fitur yang dikembangkan dan diselenggarakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.
Dalam memberikan produk, layanan, dan fitur bagi anak, PSE wajib menerapkan teknologi dan langkah teknis operasional untuk memberikan pelindungan bagi anak dari tahap pengembangan sampai dengan tahap Penyelenggaraan Sistem Elektronik.
PSE harus berbadan hukum Indonesia
PSE asing yang menyediakan layanan di Indonesia seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, hingga TikTok harus berbadan hukum di Indonesia agar dapat beroperasi.
Hal ini tercantum dalam pasal 13 UU ITE terbaru yang berbunyi : “Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang beroperasi di Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.”
Wewenang pemerintah
Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 40A.
Pasal 40A ayat 1 mengatakan, pemerintah bertanggung jawab dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Sementara pasal 40A ayat 2 berbunyi : “Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berwenang memerintahkan Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan penyesuaian pada Sistem Elektronik dan/ atau melakukan tindakan tertentu.”
Sebagaimana tertuang dalam ayat 3, PSE wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
Apabila PSE melanggar kewajiban maka PSE akan dikenai sanksi administratif yang dapat berupa:
- teguran tertulis
- denda administratif
- penghentian sementara; dan/atau
- pemutusan Akses.
Pengecualian sanksi
Revisi UU ITE memberi pengecualian sanksi yang diatur dalam Pasal 45 UU ITE. Ini berlaku untuk pelanggaran kesusilaan dan pencemaran nama baik jika dilakukan atas dasar kepentingan umum maupun membela diri.
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),” demikian bunyi pasal 45 ayat 1 Revisi UU ITE jilid II.
Pasal 45 ayat (2) soal pengecualian melanggar kesusilaan berbunyi:
“Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal:
- Dilakukan demi kepentingan umum;
- Dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.