Alasan Indonesia Butuh Internet Starlink
Starlink sudah tersedia di Indonesia. Akan tetapi, kehadirannya mendapatkan pro dan kontra di Tanah Air.
Sejumlah pakar telekomunikasi menyoroti keamanan data, keadilan persaingan dengan operator seluler lokal, perizinan, dan predatory pricing. Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development atau OECD, predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah atau di bawah rerata pasar, dalam jangka waktu tertentu.
Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons Tanujaya mengatakan, Indonesia membutuhkan teknologi satelit Starlink agar daerah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia atau 3T dapat terjangkau internet.
“Starlink itu bisa bikin koneksi internet Indonesia ‘setara’ Singapura, yang memiliki internet berkecepatan tinggi satu negara. Tanpa Starlink mustahil Indonesia bisa begitu,” kata Alfons dalam keterangan pers, Selasa (28/5).
Alfons menilai, Starlink memang akan mendapatkan keuntungan dari pasar Indonesia. Akan tetapi, Negara bakal mendapatkan manfaat dari sisi pertumbuhan ekonomi digital.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk memanfaatkan internet satelit Starlink lebih murah dibandingkan harus membangun jaringan fiber dan menara Base Transceiver Station atau BTS.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo Fadhilah Mathar pernah bercerita, biaya untuk membangun Palapa Ring Timur di Papua membengkak dari perkiraan Rp 2 miliar menjadi Rp 10 miliar.
Selain itu, ada beberapa kasus menara BTS dibakar oleh oknum tidak bertanggung jawab di Papua.
Hal senada disampaikan oleh Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber atau CISSReC Pratama Persadha. “Daerah 3T cenderung lebih sulit dilayani menggunakan media fiber optik maupun radio,” kata dia dalam keterangan pers, pekan lalu (22/5).
Internet berbasis satelit Starlink bisa menjangkau masyarakat di daerah seperti pegunungan, hutan hingga di tengah lautan.
Akses internet yang lebih luas itu pada akhirnya akan mendorong perekonomian masyarakat. Sebab, warga yang sebelumnya melakukan perdagangan secara tradisional bisa mengakses platform seperti e-commerce.
Selain itu, dapat mengurangi kesenjangan informasi. “Masyarakat di daerah 3T bisa mengakses informasi lebih cepat dan mencari informasi dari sumber yang dipercaya,” ujar Pratama.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Starlink memungkinkan puskesmas di daerah 3T untuk mendapatkan akses internet. Infrastruktur ini dapat membantu proses pencatatan data imunisasi, skrining penyakit tidak menular (PTM), serta penimbangan balita secara digital di Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK) menjadi lebih cepat.
“Indonesia memiliki 10 ribu Puskesmas yang kami digitalisasi agar layanan yang sebelumnya sulit diakses oleh masyarakat, dengan adanya Starlink jadi bisa diakses. Dengan begitu, layanannya tidak jauh berbeda dengan wilayah perkotaan,” kata Budi dalam keterangan pers, pekan lalu (20/5).
Associate Professor Monash University Indonesia bidang Kesehatan Publik Grace Wangge mengatakan, kehadiran Starlink berpotensi mempercepat transformasi digital di bidang kesehatan. Fasilitas ini memungkinkan data terkait tren kasus penyakit yang tinggi dapat diketahui dengan adanya laporan yang cepat.
“Data kesehatan di Indonesiatidak terkumpul dengan baik dan real-time, sehingga pengambil keputusan tidak cepat dan tepat," kata Grace dikutip dari siaran pers pada Minggu (26/5).
"Misalnya di Kalimantan, nakes harus naik perahu setengah hari ke ibu kota kabupaten untuk sinkronisasi data stunting (EPPBGM) karena akses internet tidak ada. Tentunya hal ini memperlambat proses alokasi intervensi yang dibutuhkan," Grace menambahkan.
Grace juga menilai, akses internet cepat memungkinkan terjadinya pemantauan kesehatan terpadu. Pasalnya, data tentang pemantauan penyakit sebenarnya terhubung dengan data lain misalnya, pemantauan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan BMKG pernah membuat pemantauan tren data cuaca untuk melihat pengaruh terhadap berkembangnya populasi nyamuk. Oleh karena ITU, Grace mendorong koordinasi dan integrasi data antar-institusi seperti ini agar upaya antisipasi wabah penyakit berjalan lebih baik.
Co-director Data and Democracy Research Hub Ika Idris menambahkan, salah satu masalah yang seringkali terjadi pada implementasi pelayanan publik yakni operasional, terutama kemampuan digital yang cukup dan kesadaran menegakkan etika digital dalam menjaga privasi publik.
Meski begitu, kehadiran Starlink juga menjadi sorotan operator seluler lokal seperti XL Axiata, Telkomsel, dan Indosat. Mereka berharap pemerintah memastikan adanya keadilan persaingan usaha atau level of playing field.
Head of External Communications XL Axiata Henry Wijayanto mencontohkan, pengenaan PNBP sektor telekomunikasi seperti biaya hak penyelenggara (BHP), Universal Service Obligation (USO), biaya hak penggunaan telekomunikasi (BHP Tel), dan lainnya kepada Starlink.
Selain itu, XL Axiata berharap pemerintah bisa memfasilitasi agar Starlink diwajibkan bekerja sama dengan operator untuk layanan business to customer atau B2C dan business to business alias B2B.
Ia juga berharap, pemerintah melakukan kontrol terhadap struktur tarif Starlink. Dengan begitu, perusahaan asal Amerika ini tidak mengancam keberlangsungan usaha telekomunikasi Nasional.
“Intinya, kami sangat mengharapkan pemerintah seyogyanya dapat bertindak sebagai pengadil untuk memastikan adanya equal playing field,” ujar Henry kepada Katadata.co.id, Selasa (28/5).