Astra Waspadai Lonjakan Serangan Hacker yang Pakai AI
PT Astra International Tbk menjadikan keamanan siber sebagai prioritas utama dalam strategi transformasi digital perusahaan. Langkah ini diambil menyusul meningkatnya ancaman peretasan berbasis kecerdasan buatan atau AI yang dapat mengganggu keberlangsungan bisnis.
Chief of Group Digital Strategy Astra International Paul Soegianto menjelaskan serangan siber kini semakin kompleks, karena banyak yang memanfaatkan teknologi AI.
“Sekarang hacker mulai menggunakan AI. Bayangkan, dalam beberapa tahun terakhir jumlah serangan berbasis AI mencapai jutaan,” ujar Paul dalam acara Accelerating Growth through Technology and Digital Information, di Jakarta, Selasa (19/8).
Menurut Paul, ancaman siber itu bukan hanya berisiko terhadap data perusahaan, tetapi juga bisa melumpuhkan operasional.
Ia mencontohkan sejumlah industri di Indonesia yang sempat berhenti produksi karena terkena serangan ransomware. “Kalau kita tidak menyiapkan standar keamanan yang kuat, bisnis bisa terhambat,” kata dia.
Oleh karena itu, ia mengungkapkan Astra menempatkan proyek keamanan siber sebagai fondasi dasar alias hygiene project dalam digitalisasi. Perusahaan memperkuat sistem proteksi data, mengantisipasi serangan siber, serta menyiapkan infrastruktur agar operasional tidak terganggu.
Selain berfokus pada keamanan, Astra terus mengembangkan inisiatif digital lain, termasuk otomatisasi proses bisnis, integrasi online dan offline, serta pemanfaatan teknologi untuk memperbaiki pengalaman pelanggan. Namun, keamanan siber tetap dipandang sebagai titik awal yang tidak bisa ditawar.
“Kami harus memastikan fondasi digitalisasi kuat terlebih dulu, baru kemudian masuk ke pengembangan bisnis baru. Kalau fondasi keamanan tidak dijaga, seluruh transformasi bisa terhenti,” kata Paul.
Biaya Customer Service AI Bisa Lebih Mahal
Saat AI mulai mengambil alih berbagai sistem kerja, Paul mengungkapkan bahwa penggunaan kecerdasan buatan dalam layanan pelanggan belum tentu lebih murah di Indonesia.
Menurut dia, ada faktor konteks lokal dan emosi dalam penggunaan bahasa yang membuat AI justru bisa lebih mahal ketimbang tenaga manusia.
Paul menjelaskan, di negara maju, penerapan chatbot atau sistem layanan pelanggan berbasis AI biasanya dipandang efisien karena biaya tenaga kerja manusia relatif tinggi. Namun, hal ini tidak berlaku di Indonesia, lantaran upah tenaga kerja masih jauh lebih rendah.
“Kalau di sini, menggunakan AI untuk customer service bisa lebih mahal dibandingkan memakai manusia,” ujar dia.
Selain faktor biaya, Paul menyoroti tantangan bahasa dan konteks komunikasi. Ia menyebut layanan pelanggan tidak hanya soal menjawab pertanyaan, tetapi juga melibatkan nuansa emosi dan pilihan kata.
“AI memang bisa menjawab cepat, tapi kalau salah menafsirkan emosi atau konteks, justru bisa menimbulkan masalah baru,” katanya.
Menurut Paul, masyarakat Indonesia memiliki gaya komunikasi yang khas, seringkali penuh dengan ungkapan, basa-basi hingga bahasa gaul yang sulit dipahami sistem AI secara akurat.
Hal itu membuat perusahaan perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk melatih dan menyesuaikan AI agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan pelanggan lokal. “Untuk mengajari AI supaya bisa mengerti bahasa sehari-hari kita itu tidak murah. Itu investasi besar,” kata dia.
Ia menambahkan, emosi dalam berbahasa juga menjadi aspek penting. Pelanggan yang komplain misalnya, membutuhkan respons empatik dan menenangkan. Jika AI gagal menangkap nada emosional, pengalaman pelanggan bisa terganggu dan berdampak pada citra perusahaan.
“Customer service bukan sekadar efisiensi, tapi juga soal menjaga kepercayaan. Itu butuh sensitivitas,” kata Paul.
Meski begitu, Paul menegaskan bahwa Astra tetap melihat potensi besar AI dalam mendukung transformasi digital. Teknologi ini tetap relevan untuk analisis data, otomasi proses, maupun layanan pelanggan tertentu yang sifatnya sederhana dan berulang. Namun, perusahaan perlu cermat memilih area penerapan agar tidak salah strategi.
“AI penting, tapi tidak semua masalah harus diselesaikan dengan AI. Kami harus lihat konteks Indonesia, budaya, dan juga efisiensi biaya. Kalau tidak, bukannya menekan biaya, malah menambah beban,” ujar Paul.
