Alasan Komdigi Kaji Aturan Satu Orang Satu Akun Medsos
Kementerian Komunikasi dan Digital atau Komdigi mengkaji aturan yang membatasi satu nomor ponsel atau Kartu Tanda Penduduk alias KTP untuk satu akun medsos alias media sosial. Instansi memastikan ini bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat.
Sekretaris Jenderal Komdigi Ismail mengatakan filosofi aturan satu orang satu akun medsos yakni menciptakan ruang digital yang sehat, aman, dan produktif. Menurut dia, anonimitas di media sosial kerap dimanfaatkan untuk melakukan penipuan maupun pelanggaran hukum.
“Kesempatan itu muncul ketika orang merasa jika sudah masuk ke ruang digital, orang lain tidak tahu saya adalah saya. Ini yang bahaya. Kondisi seperti itu bisa menggoda seseorang yang tadinya tidak berniat jahat menjadi melakukan pelanggaran,” kata Ismail di kantornya, Jumat (19/9).
Ismail menjelaskan, konsep single digital ID akan membuat setiap orang tetap terhubung dengan identitas asli di dunia maya. Opsi teknis yang dibahas mencakup verifikasi melalui pengenalan wajah dan sidik jari.
Teknis penerapannya masih dalam tahap pembahasan. Beberapa opsi yang dibicarakan termasuk penggunaan alat verifikasi tambahan seperti pengenalan wajah atau sidik jari. “Tools-tools itu bisa digunakan agar ketika orang masuk ke ruang digital, dia tetap menjadi dirinya,” kata dia.
Meski begitu, Ismail menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap diskusi dan belum menjadi aturan resmi.
“Saya mohon untuk tidak melihat ini sebagai ikhtiar membatasi kebebasan masyarakat. Justru ini upaya agar ruang digital kita sehat, produktif, dan aman, yang kita dambakan bersama,” kata Ismail.
Sebelumnya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengungkap akan mengkaji wacana satu orang memiliki maksimal satu akun media sosial. Opsi yang dikaji yakni satu nomor telepon atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) hanya bisa digunakan untuk membuat satu akun medsos.
Ia mengatakan langkah itu dikaitkan dengan program Satu Data Indonesia. Tujuannya, mengurangi praktik penipuan online sekaligus mempermudah pemantauan terhadap penyebaran berita bohong atau hoaks.
“Itu salah satu solusi dan kami sedang mengkaji sekian opsi yang intinya untuk memperkecil upaya scamming di dunia online dan memudahkan pengawasan terhadap misinformasi hoaks dan lain-lain,” ujar Nezar di Jakarta Selatan, Senin (15/9).
Wacana pembatasan akun media sosial ganda awalnya diusulkan oleh Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Oleh Soleh.
Ia mengemukakan usulan terkait regulasi platform media sosial, sebab maraknya penyalahgunaan akun ganda yang dinilai merugikan masyarakat dan berpotensi menjadi ancaman. Ia mendorong agar ketentuan mengenai pembatasan ini secara tegas dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).
“Rekomendasi saya, dalam rancangan (UU Penyiaran) dimasukkan bahwasanya platform digital tidak boleh membuat akun ganda. Hanya satu akun asli saja, tidak boleh satu orang memiliki akun ganda, baik perusahaan, lembaga, maupun personal,” ujar Oleh dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Juli.
Ia menilai, pelarangan akun ganda merupakan langkah krusial untuk mengatasi penyebaran konten ilegal di platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Ia pun mempertanyakan kesediaan para penyelenggara platform digital untuk menerima usulan tersebut.
