Bukan Satu Orang Satu Akun Medsos, Komdigi Kaji Scan Wajah atau Sidik Jari
Kementerian Komunikasi dan Digital atau Komdigi mengklarifikasi pernyataan terkait wacana satu orang hanya boleh memiliki satu akun medsos alias media sosial. Kajian yang dimaksud yakni satu orang satu identitas digital.
"Boleh punya akun berapa pun, tetapi harus ada 'traceability' atau harus bisa dilacak ke single ID ataupun digital ID yang dimiliki," kata Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria di Gedung Magister Manajemen (MM) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (18/9).
Dengan begitu, jika ada konten yang melanggar norma, bisa dipertanggungjawabkan oleh pembuat. "Kalau single ID ini bisa diterapkan, sebetulnya tidak masalah dia mau punya akun medsos satu, dua atau tiga, sepanjang autentikasi dan verifikasinya itu bisa dilakukan," Nezar menambahkan.
Sistem single ID bukan hal baru, karena pemerintah sudah lama mencanangkan ini melalui kebijakan Satu Data Indonesia, Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Identitas Kependudukan Digital (IKD).
Sistem itu memungkinkan verifikasi dan autentikasi kependudukan yang lebih kuat. "Yang kami inginkan yakni ruang digital yang aman dan bertanggung jawab buat publik sehingga dia bisa lebih banyak membawa manfaat," kata dia.
Satu NIK untuk 3 Nomor HP
Menurut Nezar, tata kelola data pribadi perlu dituntaskan dari hulu ke hilir. Di hulu, proses registrasi kartu SIM harus sesuai dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) agar setiap pengguna tercatat dengan identitas yang benar.
Saat ini, satu NIK masih bisa dipakai untuk mendaftarkan maksimal tiga nomor per operator seluler. Namun celah itu kerap disalahgunakan misalnya lewat praktik cloning data dan jual beli SIM prabayar secara bebas.
"Akibatnya 'scamming' kemudian kejahatan-kejahatan online dengan identitas palsu atau memakai data orang lain itu terjadi," kata Nezar.
Sementara di hilir, platform media sosial dituntut memiliki mekanisme pengendalian agar setiap akun dapat ditelusuri (traceable) ke identitas digital pemiliknya.
Dengan begitu, penyebaran konten negatif bisa dicegah dan tetap ada pertanggungjawaban hukum manakala pelanggaran terjadi.
"Boleh punya akun berapa, tetapi harus ada 'traceability'-nya juga, harus bisa dilacak ke single ID ataupun digital ID yang dimiliki. Sehingga kalau ada konten negatif yang melanggar norma, itu ada pertanggungjawabannya," ujar Nezar.
Scan Wajah atau Sidik Jari untuk Akses Medsos
Sekretaris Jenderal Komdigi Ismail memastikan kebijakan satu orang satu identitas digital bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi masyarakat. Ia mengatakan filosofi aturan itu yakni menciptakan ruang digital yang sehat, aman, dan produktif.
Menurut dia, anonimitas di media sosial kerap dimanfaatkan untuk melakukan penipuan maupun pelanggaran hukum.
“Kesempatan itu muncul ketika orang merasa jika sudah masuk ke ruang digital, orang lain tidak tahu saya adalah saya. Ini yang bahaya. Kondisi seperti itu bisa menggoda seseorang yang tadinya tidak berniat jahat menjadi melakukan pelanggaran,” kata Ismail di kantor dia, Jakarta, Jumat (19/9).
Ismail menjelaskan, konsep single digital ID akan membuat setiap orang tetap terhubung dengan identitas asli di dunia maya. Opsi teknis yang dibahas mencakup verifikasi melalui pengenalan wajah dan sidik jari.
Teknis penerapannya masih dalam tahap pembahasan. Beberapa opsi yang dibicarakan termasuk penggunaan alat verifikasi tambahan seperti pengenalan wajah atau sidik jari. “Tools-tools itu bisa digunakan agar ketika orang masuk ke ruang digital, dia tetap menjadi dirinya,” kata dia.
Meski begitu, Ismail menegaskan bahwa wacana itu masih dalam tahap diskusi dan belum menjadi aturan resmi.
“Saya mohon untuk tidak melihat ini sebagai ikhtiar membatasi kebebasan masyarakat. Justru ini upaya agar ruang digital kita sehat, produktif, dan aman, yang kita dambakan bersama,” kata Ismail.
