Mempercepat Transisi Energi Berbekal Skema Pendanaan yang Tepat
Risiko perubahan iklim dapat memengaruhi perekonomian global, tak terkecuali Indonesia. Negeri ini terus aktif menggunakan energi fosil, sehingga membuat Indonesia memiliki urgensi dalam upaya pengurangan emisi. Namun, upaya transisi energi ini butuh pendanaan yang tepat.
Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia Francois de Maricourt menuturkan, HSBC menyadari upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon dan energi bersih membutuhkan biaya besar.
“Indonesia saja diperkirakan membutuhkan pembiayaan lebih dari US$300 juta dalam implementasi mitigasi aksi sesuai program Nationally Determined Contribution (NDC),” ucap Francois dalam HSBC Summit 2022, di Jakarta, Rabu (14/9/2022).
Menurutnya, dunia sedang berjuang menghadapi krisis iklim. Oleh karena itu, secara global tengah berjalan upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan. Termasuk, memanfaatkan teknologi rendah karbon dan proyek-proyek hijau.
“Sangat penting melihat upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam menekan emisi karbon termasuk memasukkan transisi energi sebagai program prioritas dalam Presidensi G20,” katanya.
Adapun, Co-Chair of the Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Mark Carney mengatakan, pihaknya menyatukan visi para pelaku industri keuangan di dunia untuk melakukan transisi energi. GFANZ, yang para anggotanya mewakili 45 persen aset finansial global, mencatat kebutuhan yang tinggi untuk pencapaian target nol emisi.
Carney mengestimasikan dibutuhkan dana US$3 triliun untuk belanja modal di sektor energi. Investasi ini akan meningkatkan sekitar 2 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. “US$1 triliun dari angka tersebut (US$3 triliun) dibutuhkan dalam pengembangan energi hijau di negara berkembang untuk transisi energi mereka,” tuturnya.
Mantan gubernur Bank of England itu menjelaskan, di banyak negara di dunia, terjadi kegagalan yang disebabkan sistem energi berbasis fosil. Salah satu dampak yang terlihat adalah kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang. Hal itu juga disertai krisis iklim yang terjadi di negara yang bersangkutan.
Carney mengkritik bahwa ada kebijakan sistem energi yang tidak andal dan berkelanjutan. “Harga energi yang tinggi adalah produk dari kebijakan energi yang agak ragu-ragu, tidak cukup berani,” tuturnya. Carney juga mengimbau agar negara-negara yang masih menggunakan batu bara untuk mulai mencari sumber daya baru yang lebih dapat diperbarui.
Ia juga mengingatkan agar Indonesia melakukan reforestasi dan koservasi hutan tropis. Menurutnya, upaya ini membutuhkan dukungan lembaga keluangan multilateral demi mobilisasi modal yang memadai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan blended finance.
Transisi pada sistem energi hijau membutuhkan investasi besar. Investasi ini harus empat kali lebih tinggi nilainya daripada energi berbasis fosil. “Kita harus bekerja ke sistem baru yang mendukung stabilitas iklim, dan juga ekonomi yang hidup dan berkelanjutan,” imbuh Carney.
Untuk menciptakan sistem energi dengan tujuan nol emisi setiap pemerintah di negara manapun tak dapat bekerja sendiri. Perusahaan swasta, lembaga keuangan dan lembaga filantropi harus saling bekerja sama.
Hal lain yang tak kalah penting adalah adanya peta jalan pembiayaan yang mengidentifikasi upaya-upaya transisi energi. Kemudian, negara-negara yang mencari pembiayaan untuk proyek nol emisi harus berkomitmen untuk melakukan reformasi dalam tata kelola energinya. Di samping itu, perusahaan swasta pun harus mengembangkan pipeline untuk proyek-proyek nol emisi yang bankable.
Terakhir, hal yang mampu mendukung transisi energi adalah fleksibilitas dari lembaga donor. “Lembaga filantropi harus lebih fleksibel dalam menyalurkan pendanaannya yang lebih efisien. Dan, lebih efektif mengambil risiko, sehingga bisa menghasilkan efek pengganda,” kata Carney.