Bisnis 7-Eleven di Tangan Masatoshi Ito

Image title
16 Maret 2023, 09:17
Seven Eleven
Arief Kamaludin|KATADATA
Salah satu gerai 7-Eleven di Jakarta

Masatoshi Ito, pendiri 7-Eleven, meninggal pada usia 98 tahun Jumat (10/3) lalu karena usia tua. Kematian Ito dikonfirmasi Seven & I Holdings (SVNDF), operator 7-Eleven, dalam pernyataan berbahasa Jepang yang dirilis dalam situs resmi perusahaan pada pada Senin (13/3). Rilis tersebut juga mengimbau publik untuk tidak mengirim ungkapan belasungkawa dalam bentuk karangan bunga dan mengumumkan upacara pemakaman hanya dilakukan oleh kerabat dekat saja.

Seven & I Holdings kini mengoperasikan lebih dari 83 ribu toko ritel di seluruh dunia, yang seperempatnya tersebar di seantero Jepang. Perusahaan itu mengklaim telah mengoperasikan 7-Eleven di 19 negara, termasuk Amerika Serikat, dan mengelola jaringan Speedway di Amerika Serikat.

Seven Eleven
Seven Eleven (Arief Kamaludin|KATADATA)
 

 

 

Ito, si Anak Pedagang Acar

Sebagai pemegang saham terbesar, Ito mengumpulkan kekayaan bersih sebesar US$5 miliar (S$6,7 miliar), menurut Bloomberg Billionaires Index. Ito dilahirkan dari pasangan Senzo dan Yuki Ito pada 30 April 1924 di Tokyo. Pasangan ini berdagang acar sayur dan makanan kering untuk menghidupi keluarga.

Ito tumbuh sebagai pemuda pada umumnya. Ia menamatkan sekolah kejuruan komersial pada 1944 di Yokohama lalu bergabung dengan Mitsubishi Coal and Mining selepas sekolah. Ito berstatus sebagai pekerja pada umumnya di perusahaan itu.

Saat Perang Dunia II meletus, ia direkrut menjadi tentara sipil. Ia sempat dilatih untuk menyerang kapal musuh dengan melakukan operasi bunuh diri. Usai perang, ia tak meneruskan pekerjaannya di Mitsubishi dan mulai menekuni bisnis keluarga yang dibangun oleh pamannya.

Pergaulannya yang luas membawa ia berteman dengan konsultan manajemen kondang asal Amerika Serikat yang berdarah Austria, Peter Drucker. Pertemanannya dengan Peter itu yang disebut-sebut sebagai salah satu resep di balik kepiawaiannya dalam mengelola bisnis. Sebaliknya, Peter menggambarkan Ito sebagai salah satu pembangun bisnis terbaik di dunia.

Tangan dingin Ito membuatnya dihormati sebagai Ketua Kehormatan Seven & I Holdings hingga akhir hayatnya. Perusahaan itu kini menjelma raksasa dengan pendapatan tahunan sekitar US$80 miliar.

Bermula dari Toko Pakaian

Ito memulai bisnisnya dengan mengambil alih usaha Yokado Clothing Store milik sang paman, Toshio Yoshikawa. Toko yang berbasis di Asakusa, Tokyo, itu sempat dikelola oleh saudaranya, Yuzuru, yang kemudian meninggal pada 1956. Setelah itu, Ito mengambil alih dan melakukan re-branding dengan nama Ito-Yokado dan memperkenalkannya kembali ke publik dengan nama baru pada 1972.

Di tangan Ito, Ito-Yokado menjelma menjadi toko serba ada dengan mengembangkan konsep one-stop shopping. Toko itu menawarkan berbagai keperluan sehari-hari, mulai dari bahan makanan hingga pakaian. Meski tak lagi mengembangkan Ito-Yokado, perusahaan itu merupakan bibit berdirinya Seven & I Holdings.

Era Ito dalam mengelola 7-Eleven bermula dari kunjungan eksekutif muda tangan kanan Ito, Toshifumi Suzuki, yang berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan ekspansi bisnis. Saat itu, manajemen perusahaan ingin mendirikan Denny's Japan, jaringan restoran kasual berbasis di Amerika Serikat. Di sana, Suzuki menemukan 7-Eleven.

Suzuki lalu membuat kesepakatan bisnis dengan Southland Corp yang berbasis di Dallas, Amerika Serikat, pemilik jaringan waralaba 7-Eleven. Ia membawa pulang outlet 7-Eleven ke Jepang untuk pertama kalinya pada 1974 yang ditandai dengan berdirinya gerai toko ritel itu di Tokyo.

Sejak itu, bisnis Ito menggurita di bawah naungan Ito-Yokado. Ito berhasil mengembangkan bisnis ritel keluar dari zona nyaman dengan membawa konsep baru seperti menjalankan operasi 24 jam dan mengembangkan jaringan super store, department store secara efisien. Ia juga berhasil meluaskan jaringan Denny's Japan. Di 1980-an, Ito menghasilkan penjualan tahunan sekitar US$ 12 miliar, yang menahbiskannya sebagai pengusaha kelas atas di Jepang.

Pada 1981, Southland Corp mengalami kesulitan finansial yang mengancam bisnis utamanya 7-Eleven. Saat itu, Ito membeli 70 persen saham Southland untuk menyelamatkan bisnis 7-Eleven dari kebangkrutan. Nilai kesepakatan itu mencapai US$430 juta. Sejak itu, Ito-Yokado menjadi pemilik mayoritas Southland Corp dan mengakuisisi perusahaan itu.

Ito lalu mengundurkan diri pada 1992 setelah skandal yang melibatkan 'yakuza' terkuak ke publik. Pucuk pimpinan beralih ke Suzuka yang kemudian mengganti nama perusahaan menjadi Seven & I Holdings pada 2005. Huruf 'I' merujuk pada Ito-Yokado dan sebagai bentuk penghargaan terhadap tangan dingin Ito dalam membangun kerajaan bisnis ritel perusahaan itu. Ito juga masih memiliki sebagian besar saham perusahaan itu.

Di bawah Suzuka, Seven & I Holdings terus berkembang. Salah satunya dengan menguasai jaringan stasiun pengisian bahan bakar Speedway milik Marathon Petroleum yang berbasis di Ohio. Suzuka mengakuisisi perusahaan dengan nilai US$21 miliar pada Agustus 2020 dan mengembangkan bisnis ritel serba ada yang menjadi penopang bisnis utama perusahaan.

Gugur di Indonesia

Meski bisnisnya berkilau secara global, 7-Eleven gagal bertahan di Indonesia. Sevel, julukan ritel ini di Tanah Air, resmi menutup seluruh gerainya di Indonesia pada 2017. Adanya pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket pada 2015 menjadi pukulan telak bagi perusahaan yang memulai bisnisnya di Indonesia pada 2009.

Pada 2016, pendapatan Sevel turun sekitar 23,4% dan telah menutup 25 gerai karena tak mencapai target penjualan setelah larangan penjualan minuman beralkohol berlaku. Penutupan gerai itu membuat beban operasional meningkat sebesar 17,3% menjadi Rp397,3 miliar dan mencetak kerugian bagi perusahaan sebesar Rp81,9 miliar. Total rugi komprehensif yang ditanggung perusahaan pada 2016 mencapai Rp115,5 miliar.

Sevel memiliki sekitar 190 gerai pada 2014 yang mayoritas berada di DKI Jakarta dengan menargetkan anak muda sebagai target konsumennya. Sebanyak 13 toko Sevel yang telah tutup diambil alih oleh FamilyMart Indonesia untuk mengembangkan bisnis FamilyMart.

Sebelum resmi menutup seluruh gerainya, Sevel juga tersandung persoalan pajak. Beberapa gerainya dipasangi stiker yang menyatakan toko itu belum membayar pajak daerah. Setahun kemudian, setelah persoalan pajak teratasi, Sevel menyatakan berhenti operasi di Indonesia.

Reporter: Dini Pramita
News Alert

Dapatkan informasi terkini dan terpercaya seputar ekonomi, bisnis, data, politik, dan lain-lain, langsung lewat email Anda.

Dengan mendaftar, Anda menyetujui Kebijakan Privasi kami. Anda bisa berhenti berlangganan (Unsubscribe) newsletter kapan saja, melalui halaman kontak kami.

Artikel Terkait