Profil 3 Hakim MK yang Beri Dissenting Opinion dalam Sidang PHPU 2024

Image title
24 April 2024, 08:00
MK
Katadata
Para hakim di sidang sengketa Pilpres di MK
Button AI Summarize

Dalam putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan menolak permohonan seluruh gugatan yang diajukan yang diajukan oleh calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

PHPU Pilpres 2024 diputuskan oleh MK berdasarkan dua gugatan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Anies-Muhaimin, dan Nomor Perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Ganjar-Mahfud.

Dalam sengketa Pilpres 2024, kedua pasangan capres dan cawapres tersebut, meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, yang menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Meski putusan akhir dari MK menyatakan menolak gugatan, dalam prosesnya terdapat tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Ketiganya berpendapat, perlu ada pemilihan suara ulang di beberapa daerah sesuai dengan temuan dalam sidang.

Profil Tiga Hakim MK yang Menyatakan Dissenting Opinion

Berikut ini profil tiga hakim MK yang menyatakan dissenting opinion dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2024, dilansir dari laman resmi MK.

1. Saldi Isra

Sidang putusan sengketa Pilpres 2024
Hakim MK Saldi Isra dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024 (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa)

Saldi Isra lahir di Paninggahan, Solok, Sumatera Barat pada 20 Agustus 1968 dari pasangan Ismail dan Ratina. Mengambil jurusan fisika semasa SMA, ia tidak pernah membayangkan akan menjadi hakim ketika berkarier, apalagi menempati posisi sebagai hakim MK.

Sejak remaja, ia memiliki cita-cita untuk melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sayangnya, ia gagal untuk masuk di ITB setelah mengikuti PMDK, Sipenmaru, maupun UMPTN pada 1989.

Dua kali gagal, membuat ia memutuskan pergi ke Jambi untuk mencari kerja. Usai merasa uang yang dimilikinya cukup untuk melanjutkan kuliah, ia kembali mencoba peruntungannya.

Pada 1990, ia kembali mendaftar UMPTN, namun jika sebelumnya memilih jurusan IPA, maka ia beralih menjadi IPC dengan pilihan jurusan yang pragmatis. Tiga jurusan tujuannya, yakni Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas, dan Jurusan Ilmu Hukum Universitas Andalas. Pilihan terakhirnya, merupakan pilihan yang tidak dipikirkan dan ia cantumkan untuk mengisi jurusan IPS.

Pada akhirnya, Saldi lolos UMPTN, namun pada jurusan yang tak ia duga sebelumnya, yakni Ilmu Hukum. Ia bercerita, bahwa menjadi mahasiswa Ilmu Hukum benar-benar pengalaman baru. Jika sebelumnya, ia lebih familiar dengan rumus-rumus matematika dan fisika, kala itu ia harus banyak membaca dan menulis.

Ketekunannya berbuah manis, dengan meraih predikat summa cum laude dengan IPK 3,86 di akhir masa studinya. Usai menamatkan pendidikan S1, ia bekerja sebagai dosen di Universitas Bung Hatta pada 1995 sebelum pindah ke Universitas Andalas.

Ia mengabdi sebagai dosen Universitas Andalas kurang lebih selama 22 tahun. Selama mengajar, ia juga meneruskan studi pendidikan pasca sarjana di Universitas Malaya, Malaysia. Pada 2001 ia berhasil menyelesaikan studi magister dengan meraih gelar Master of Public Administration.

Kemudian, pada 2009 ia menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus cum laude. Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Di sela kegiatannya sebagai pengajar, Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal, baik di lingkup nasional maupun internasional. Ia juga dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan.

Masuknya Saldi di MK, utamanya berkat dorongan dari Mahfud MD agar ia mendaftar dalam seleksi hakim konstitusi 2017 silam, meski dalam dirinya terbesit keraguan, karena Saldi merasa ia belum mumpuni dari segi usia dan masih berat untuk menanggalkan status sebagai dosen.

"Pak Mahfud mengatakan 'Mas, kalau Anda tetap tidak mau daftar, Anda sebetulnya tidak mau membuka jalan untuk generasi baru di MK'. Nah, kata-kata beliau akhirnya menjadi pertimbangan saya untuk maju," kata Saldi, dilansir dari laman resmi MK.

Pada 11 April 2017, Presiden Joko Widodo resmi melantik Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017–2022. Ia berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Presiden oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim MK pada 3 April 2017.

2. Enny Nurbaningsih

Sidang pengujian materiil UU tentang pemilihan umum
Hakim MK Enny Nurbaningsih dalam sidang uji materiil UU Pemilu (ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.)

Enny Nurbaningsih lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 27 Juni 1962. Ia terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi dan disumpah pada 13 Agustus 2018.

Ketertarikan Enny pada Ilmu Hukum muncul saat dirinya menempuh pendidikan tingkat menengah. Tekadnya untuk meniti karier di bidang hukum, membuatnya merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta, untuk menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).

Ia merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981 silam. Usai lulus pendidikan S1, Enny kemudian menjadi dosen di FH UGM.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...