Profil 3 Hakim MK yang Beri Dissenting Opinion dalam Sidang PHPU 2024
Dalam putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan menolak permohonan seluruh gugatan yang diajukan yang diajukan oleh calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
PHPU Pilpres 2024 diputuskan oleh MK berdasarkan dua gugatan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Anies-Muhaimin, dan Nomor Perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Ganjar-Mahfud.
Dalam sengketa Pilpres 2024, kedua pasangan capres dan cawapres tersebut, meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, yang menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Meski putusan akhir dari MK menyatakan menolak gugatan, dalam prosesnya terdapat tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Ketiganya berpendapat, perlu ada pemilihan suara ulang di beberapa daerah sesuai dengan temuan dalam sidang.
Profil Tiga Hakim MK yang Menyatakan Dissenting Opinion
Berikut ini profil tiga hakim MK yang menyatakan dissenting opinion dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2024, dilansir dari laman resmi MK.
1. Saldi Isra
Saldi Isra lahir di Paninggahan, Solok, Sumatera Barat pada 20 Agustus 1968 dari pasangan Ismail dan Ratina. Mengambil jurusan fisika semasa SMA, ia tidak pernah membayangkan akan menjadi hakim ketika berkarier, apalagi menempati posisi sebagai hakim MK.
Sejak remaja, ia memiliki cita-cita untuk melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sayangnya, ia gagal untuk masuk di ITB setelah mengikuti PMDK, Sipenmaru, maupun UMPTN pada 1989.
Dua kali gagal, membuat ia memutuskan pergi ke Jambi untuk mencari kerja. Usai merasa uang yang dimilikinya cukup untuk melanjutkan kuliah, ia kembali mencoba peruntungannya.
Pada 1990, ia kembali mendaftar UMPTN, namun jika sebelumnya memilih jurusan IPA, maka ia beralih menjadi IPC dengan pilihan jurusan yang pragmatis. Tiga jurusan tujuannya, yakni Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas, dan Jurusan Ilmu Hukum Universitas Andalas. Pilihan terakhirnya, merupakan pilihan yang tidak dipikirkan dan ia cantumkan untuk mengisi jurusan IPS.
Pada akhirnya, Saldi lolos UMPTN, namun pada jurusan yang tak ia duga sebelumnya, yakni Ilmu Hukum. Ia bercerita, bahwa menjadi mahasiswa Ilmu Hukum benar-benar pengalaman baru. Jika sebelumnya, ia lebih familiar dengan rumus-rumus matematika dan fisika, kala itu ia harus banyak membaca dan menulis.
Ketekunannya berbuah manis, dengan meraih predikat summa cum laude dengan IPK 3,86 di akhir masa studinya. Usai menamatkan pendidikan S1, ia bekerja sebagai dosen di Universitas Bung Hatta pada 1995 sebelum pindah ke Universitas Andalas.
Ia mengabdi sebagai dosen Universitas Andalas kurang lebih selama 22 tahun. Selama mengajar, ia juga meneruskan studi pendidikan pasca sarjana di Universitas Malaya, Malaysia. Pada 2001 ia berhasil menyelesaikan studi magister dengan meraih gelar Master of Public Administration.
Kemudian, pada 2009 ia menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus cum laude. Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Di sela kegiatannya sebagai pengajar, Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal, baik di lingkup nasional maupun internasional. Ia juga dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan.
Masuknya Saldi di MK, utamanya berkat dorongan dari Mahfud MD agar ia mendaftar dalam seleksi hakim konstitusi 2017 silam, meski dalam dirinya terbesit keraguan, karena Saldi merasa ia belum mumpuni dari segi usia dan masih berat untuk menanggalkan status sebagai dosen.
"Pak Mahfud mengatakan 'Mas, kalau Anda tetap tidak mau daftar, Anda sebetulnya tidak mau membuka jalan untuk generasi baru di MK'. Nah, kata-kata beliau akhirnya menjadi pertimbangan saya untuk maju," kata Saldi, dilansir dari laman resmi MK.
Pada 11 April 2017, Presiden Joko Widodo resmi melantik Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017–2022. Ia berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Presiden oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim MK pada 3 April 2017.
2. Enny Nurbaningsih
Enny Nurbaningsih lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 27 Juni 1962. Ia terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi dan disumpah pada 13 Agustus 2018.
Ketertarikan Enny pada Ilmu Hukum muncul saat dirinya menempuh pendidikan tingkat menengah. Tekadnya untuk meniti karier di bidang hukum, membuatnya merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta, untuk menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).
Ia merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981 silam. Usai lulus pendidikan S1, Enny kemudian menjadi dosen di FH UGM.
Tak hanya menjadi seorang dosen, ia juga terlibat aktif dalam organisasi yang berkaitan dengan ilmu hukum tata negara. Misalnya, Parliament Watch yang ia bentuk bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008-2013 Mahfud MD pada 1998 silam. Pembentukan organisasi ini, dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator.
Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional. Ia juga kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli yang berkaitan dengan hukum tata negara.
"Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada desain apapun. Saya pun mendalami bidang ilmu hukum perundang-undangan dan konstitusi. Dari sana pula, awal mula yang mengantarkan saya sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional selama 4 tahun," kata Enny.
Terkait dengan keterpilihannya sebagai hakim konstitusi, ia menyebut tak pernah merencanakannya. Ketika melihat peluang dibukanya posisi hakim konstitusi, ia tertarik untuk mengisi ruang perempuan dalam jajaran hakim konstitusi.
Menurutnya, bergabung dengan MK sebagai hakim konstitusi menjadi kesempatan yang berharga untuk mempraktikkan pengalaman-pengalaman terkait hukum konstitusi dan hukum perundang-undangan. Hal itu menjadi alasannya untuk ikut mendaftar dalam seleksi hakim konstitusi.
Ia tak memungkiri beban berat yang ditanggungnya sebagai hakim konstitusi, yang harus pandai menempatkan diri agar terhindar dari konflik kepentingan.
Untuk mempersiapkan diri, Enny mempelajari dengan seksama The Bangalore Principles of Judicial Conduct, yang berisi enam prinsip yang menjadi pegangan bagi para hakim. Prinsip-prinsip tersebut, adalah independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kesaksamaan.
Terkait visi dan misinya sebagai hakim konstitusi, Enny menyebutkan, bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki visi dan misi yang sama dengan institusinya, dalam hal ini MK.
"Seorang hakim konstitusi harus mampu mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil. Selain itu, hakim konstitusi harus menjaga kewibawaan peradilan konstitusi," ujarnya.
3. Arief Hidayat
Arief Hidayat bukanlah sosok baru di MK. Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 ini pernah dua kali menjabat sebagai Ketua MK, yakni pada periode 14 Januari 2015-14 Juli 2017, dan 14 Juli 2017-1 April 2018.
Arief pertama kali dilantik sebagai hakim konstitusi pada 1 April 2013 untuk masa bakti hingga 2018. Ia kemudian terpilih kembali untuk masa jabatan 1 April 2018-27 Maret 2026.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut, mengungkapkan bahwa dirinya tak pernah terpikir untuk menempati posisi sebagai hakim konstitusi. Sebab, sejak kecil ia hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang guru.
Terkait dengan pilihannya untuk menekuni Ilmu Hukum, Arief menyebutkan, sejak menempuh pendidikan di SMA, ia memang tertarik pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial.
Arief tercatat lulus pendidikan strata satu di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) pada 1980, dan kemudian menjadi dosen. Tak berhenti di tingkat S1, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang pasca sarjana, di Universitas Airlangga, yang diselesaikannya pada 1984. Lalu, gelar doktor ia rampungkan di Universitas Diponegoro pada 2006.
Selain aktif mengajar, ia juga aktif di beberapa organisasi profesi dan berhasil menempati posisi sebagai ketua. Beberapa organisasi yang pernah ia pimpin, antara lain Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.
Ia juga kerap terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh MK, dengan menjadi narasumber maupun menjadi juri dalam setiap kegiatan MK berkaitan dengan menyebarluaskan mengenai kesadaran berkonstitusi.
"Saya membantu Sekretariat Jenderal MK merumuskan kegiatan yang berkaitan dengan jaringan fakultas hukum di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Sehingga di situ, saya semacam kepala suku yang menggunakan pendekatan yuridis romantis kepada kelompok yang sebagian besar merupakan guru besar Ilmu Hukum Tata Negara di berbagai fakultas hukum di Indonesia. Saya sampai disebut sebagai pakar yuridis romantis," ujarnya.
Arief kemudian dikukuhkan sebagau Guru Besar pada 2008, dan menjadi dekan di FH Undip. Setelah selesai menjabat dekan, ia memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk 'Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945'.
Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, ia pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR.