Bisnis 7-Eleven di Tangan Masatoshi Ito

Image title
16 Maret 2023, 09:17
Seven Eleven
Arief Kamaludin|KATADATA
Salah satu gerai 7-Eleven di Jakarta

Suzuki lalu membuat kesepakatan bisnis dengan Southland Corp yang berbasis di Dallas, Amerika Serikat, pemilik jaringan waralaba 7-Eleven. Ia membawa pulang outlet 7-Eleven ke Jepang untuk pertama kalinya pada 1974 yang ditandai dengan berdirinya gerai toko ritel itu di Tokyo.

Sejak itu, bisnis Ito menggurita di bawah naungan Ito-Yokado. Ito berhasil mengembangkan bisnis ritel keluar dari zona nyaman dengan membawa konsep baru seperti menjalankan operasi 24 jam dan mengembangkan jaringan super store, department store secara efisien. Ia juga berhasil meluaskan jaringan Denny's Japan. Di 1980-an, Ito menghasilkan penjualan tahunan sekitar US$ 12 miliar, yang menahbiskannya sebagai pengusaha kelas atas di Jepang.

Pada 1981, Southland Corp mengalami kesulitan finansial yang mengancam bisnis utamanya 7-Eleven. Saat itu, Ito membeli 70 persen saham Southland untuk menyelamatkan bisnis 7-Eleven dari kebangkrutan. Nilai kesepakatan itu mencapai US$430 juta. Sejak itu, Ito-Yokado menjadi pemilik mayoritas Southland Corp dan mengakuisisi perusahaan itu.

Ito lalu mengundurkan diri pada 1992 setelah skandal yang melibatkan 'yakuza' terkuak ke publik. Pucuk pimpinan beralih ke Suzuka yang kemudian mengganti nama perusahaan menjadi Seven & I Holdings pada 2005. Huruf 'I' merujuk pada Ito-Yokado dan sebagai bentuk penghargaan terhadap tangan dingin Ito dalam membangun kerajaan bisnis ritel perusahaan itu. Ito juga masih memiliki sebagian besar saham perusahaan itu.

Di bawah Suzuka, Seven & I Holdings terus berkembang. Salah satunya dengan menguasai jaringan stasiun pengisian bahan bakar Speedway milik Marathon Petroleum yang berbasis di Ohio. Suzuka mengakuisisi perusahaan dengan nilai US$21 miliar pada Agustus 2020 dan mengembangkan bisnis ritel serba ada yang menjadi penopang bisnis utama perusahaan.

Gugur di Indonesia

Meski bisnisnya berkilau secara global, 7-Eleven gagal bertahan di Indonesia. Sevel, julukan ritel ini di Tanah Air, resmi menutup seluruh gerainya di Indonesia pada 2017. Adanya pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket pada 2015 menjadi pukulan telak bagi perusahaan yang memulai bisnisnya di Indonesia pada 2009.

Pada 2016, pendapatan Sevel turun sekitar 23,4% dan telah menutup 25 gerai karena tak mencapai target penjualan setelah larangan penjualan minuman beralkohol berlaku. Penutupan gerai itu membuat beban operasional meningkat sebesar 17,3% menjadi Rp397,3 miliar dan mencetak kerugian bagi perusahaan sebesar Rp81,9 miliar. Total rugi komprehensif yang ditanggung perusahaan pada 2016 mencapai Rp115,5 miliar.

Sevel memiliki sekitar 190 gerai pada 2014 yang mayoritas berada di DKI Jakarta dengan menargetkan anak muda sebagai target konsumennya. Sebanyak 13 toko Sevel yang telah tutup diambil alih oleh FamilyMart Indonesia untuk mengembangkan bisnis FamilyMart.

Sebelum resmi menutup seluruh gerainya, Sevel juga tersandung persoalan pajak. Beberapa gerainya dipasangi stiker yang menyatakan toko itu belum membayar pajak daerah. Setahun kemudian, setelah persoalan pajak teratasi, Sevel menyatakan berhenti operasi di Indonesia.

Halaman:
Reporter: Dini Pramita
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...