Riwayat Food Estate, Menorehkan Sejarah Kegagalan dari Masa ke Masa
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan program lumbung pangan atau food estate yang digagas pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki banyak catatan. Ia mengatakan ada penyalahgunaan kebijakan dalam penyelenggaraan program tersebut.
Hasto juga mengatakan untuk dalam praktiknya, kebijakan itu membabat habis jutaan hektare kawasan hutan. Meski begitu, food estate tak jua terbangun dengan baik. "Itu merupakan kejahatan terhadap lingkungan," kata dia, Selasa (15/8).
Padahal, PDIP merupakan salah satu pendukung program ini. Dalam pidato di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada 16 Juli tahun lalu, Hasto meminta pemerintah dan masyarakat mendukung penuh upaya Presiden Jokowi membangun food estate.
Hasto saat itu juga mengatakan food estate merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan memberi dampak baik terhadap negara dan masyarakat, terutama dalam pemenuhan pangan. "Untuk itu kita memberikan dukungan sepenuhnya terhadap upaya Presiden Joko Widodo membangun Food Estate di Kalteng," kata dia.
Sejarah Food Estate, Disebut-sebut Mengulangi Proyek Gagal Lumbung Pangan Nasional
Food estate menjadi salah satu kebijakan di dalam payung PSN 2020-2024. Pelaksanaannya tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia, antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua.
Saat itu, Presiden Jokowi menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menjadi pimpinan proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah. "Namanya pertahanan itu bukan hanya urusan alutsista, tetapi juga ketahanan di bidang pangan," kata Jokowi, Senin, 13 Juli 2020.
Pekerjaannya melibatkan kementerian lain yang meliputi Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian PUPR. Dalam pelaksanaannya, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun.
Sementara itu, Kementerian Pertanian menyiapkan Rp 2,3 triliun anggaran dana alokasi (DAK) fisik pada 2023 untuk pengembangan program food estate dan penguatan kawasan sentra produksi pangan. DAK fisik bidang pertanian tersebut menurut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, ditujukan untuk penguatan kawasan produksi pangan berbasis korporasi terintegrasi hulu-hilir dalam rangka penguatan ketahanan pangan serta pemulihan ekonomi nasional.
Banyak pihak mengkritik food estate versi pemerintahan Jokowi. Salah satunya karena dianggap tidak berkaca pada program lumbung pangan serupa yang pernah dijalankan pemerintah sebelumnya.
Proyek itu adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (PPETM) di Merauke yang dilaksanakan di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ada 36 perusahaan yang disebut terlibat dalam program MIFEE yang berjalan pada 2010 tersebut.
Sebelumnya ada pula Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) di era mantan Presiden Soeharto. Proyek ini dijalankan di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan dengan misi membangun pertanian padi di atas lahan gambut untuk mendukung swasembada pangan.
Proyek PLG yang pernah dicetuskan Soeharto diputuskan berhenti berjalan pada tahun 1998 melalui Keppres 33/98 di masa pemerintahan BJ Habibie. Proyek ini gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis dalam ekosistem gambut.
Proyek MIFEE mengalami nasib sama. Menurut catatan Walhi, proyek MIFEE merusak tanaman sagu yang menjadi bahan pangan utama masyarakat Papua. Selain itu, diduga terjadi konflik horizontal karena proses pelepasan lahan yang bermasalah.
Selain MIFEE, SBY juga membuat program cetak sawah di Bulungan, Kalimantan utara, pada 2011, seluas 30 ribu hektare. Dilanjutkan dengan program cetak sawah seluas 100 ribu hektare di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013. Sama seperti nasib MIFEE, kedua program tersebut dinyatakan gagal.
Kritik lainnya yang disampaikan berbagai pihak adalah pilihan komoditas lumbung pangan di era Jokowi yang merupakan komoditas industri seperti jagung untuk pakan ternak dan kentang untuk industri makanan ringan. Komoditas yang diutamakan dianggap bukan merupakan kebutuhan untuk penguatan ketahanan pangan masyarakat lokal.
Temuan BPK dalam Penyelenggaraan Food Estate
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa persoalan signifikan dalam pemeriksaan kegiatan Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP)/Food Estate Tahun Anggaran 2020 sampai dengan Triwulan III 2021 pada Kementerian Pertanian serta Instansi Terkait Lainnya.
Menurut BPK, ada tiga persoalan signifikan yang ditemukan. Pertama, perencanaan kegiatan belum berdasarkan data dan informasi yang valid dan belum sesuai dengan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Temuan kedua adalah beberapa kegiatan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau yang dilaksanakan secara swakelola belum memenuhi ketentuan. Temuan ketiga adalah penetapan lahan lokasi pembangunan food estate yang belum sesuai ketentuan.
Selain itu, BPK juga menemukan persoalan dalam pemeriksaan terpisah. Dalam pemeriksaan anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020, BPK menemukan anggaran keuangan bermasalah sebesar Rp 9 triliun.
Dari anggaran tersebut, dana sebesar Rp 803,3 miliar di Kementerian Pertanian yang terkait dua program, salah satunya food estate, diduga bermasalah. Menurut laporan BPK persoalannya ada pada pelaksanaan pengolahan lahan yang tidak sesuai seluas 30 ribu hektare dengan nilai Rp 15,2 miliar.
BPK juga mencatat potensi permasalahan kelebihan lahan pada pengembangan kawasan food estate di Kalimantan Tengah yang dikelola Ditjen Prasarana dan Saran Pertanian tahun 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kelebihan luas lahan tersebut di 19 kelompok tani dengan total 370,99 hektare atau setara dengan bantuan sarana dan produksi senilai Rp 1,5 miliar.