• Kerusakan lahan gambut memicu karhutla, seluas 88,43% ekosistem gambut telah rusak.
  • Tugas restorasi BRGM belum mencapai target karena persoalan anggaran dan keterbatasan kewenangan.
  • Masih terdapat sejumlah persoalan pada pelaksanaan 3R di tingkat tapak.

Pada 2022 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan 88,43% ekosistem gambut telah rusak atau seluas 20,207 juta hektare dari 24,667 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro saat itu mengatakan hanya 16% atau sekitar 4,024 juta hektare lahan gambut yang masih dalam kondisi baik alias tidak rusak.

Pengklasifikasian status kerusakan tersebut terkait dengan prioritas pemulihan ekosistem gambut yang memiliki payung hukum SK Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Berdasarkan SK Dirjen PPKL Nomor SK.40/PPKL/PKG/PKL.0/3/2018 tentang Penetapan Status Kerusakan Ekosistem Gambut, pengkategorian kerusakan dibagi ke dalam lima status yaitu: rusak sangat berat, rusak berat, rusak sedang, rusak ringan, dan tidak rusak.

Berdasarkan kategori itu, menurut Sigit, yang masuk ke dalam kategori rusak berat seluas 1.053.886 hektare dan rusak sangat berat 206.935 hektare. Adapun sesuai dengan SK Dirjen yang ditetapkan pada 12 Maret 2018 tersebut, revisi status kerusakan dan prioritas pemulihan ekosistem gambut dan peta status kerusakan ekosistem gambut dilakukan setiap lima tahun sekali.

Restorasi ala BRGM Melalui 3R

Ekosistem gambut yang rusak tersebut antara lain berasal dari bekas wilayah terbakar 2015. Berkaca pada karhutla 2015, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 yang ditetapkan pada 6 Januari 2016 dengan masa tugas lima tahun. Tugasnya adalah untuk memulihkan kawasan gambut di luar area konsesi, yang termasuk ke dalam Area Penggunaan Lain, yang rusak dan menjadi langganan terbakar di musim kemarau.

Perlu diketahui, yang dimaksud dengan gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 sentimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa. Sedangkan ekosistem gambut tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Dalam satu ekosistem gambut, terdapat lahan gambut dan lahan mineral (non-gambut).

Di awal masa penugasan, BRGM menerbitkan Surat Keputusan Kepala BRG tentang Penetapan Peta Indikatif Restorasi Gambut Nomor SK. 05/BRG/KPTS/2016 yang menyatakan target indikatif restorasi seluas 2.492.523 hektare. Sebanyak 1.410.943 hektare berada di kawasan budi daya berizin, 396.943 hektare berada di kawasan budi daya tidak berizin, dan 684 hektare berada di kawasan lindung. 

Meski begitu, tak semua menjadi kewenangan BRG. Hanya sekitar 900 ribu hektare dari lahan gambut yang rusak tersebut yang menjadi kewenangan BRG. "Seluas 1,7 juta hektare ternyata berada di kawasan berizin yang bukan menjadi kewenangan BRG saat itu," kata Kepala Kelompok Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto. Dari luasan 900 ribu hektare tersebut, BRG mampu merestorasi seluas 834 ribu hektare.

Badan ini  kemudian diteguhkan menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 dengan diberi tambahan tugas merestorasi kawasan mangrove dan masa tugas diperpanjang lima tahun hingga 2024. Dalam Perpres disebutkan tugas BRGM adalah melakukan restorasi ekosistem gambut seluas 1,2 juta hektare dengan target yang ditetapkan per tahun, melalui 3R: rewetting, revegetasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat.

Rewetting merupakan progam pembasahan kembali lahan gambut dengan membangun sekat kanal dan sumur bor. Revegatasi merupakan kegiatan menanami kembali dengan tanaman-tanaman kayu keras untuk menjaga kelembapan lahan gambut dan menjaga siklus air dalam ekosistem gambut. Sedangkan kegiatan revitalisasi ekonomi masyarakat bertujuan untuk melepaskan ketergantungan masyarakat pada praktik pembukaan dan pengeringan lahan gambut.

Didy Wurjanto mengatakan sejak 2017 hingga 2020, BRGM -yang dulunya bernama BRG- telah menyelesaikan restorasi gambut seluas 835 ribu hektare. Meski dibentuk sejak 2016, namun pada tahun tersebut belum ada anggaran yang dikucurkan untuk BRG sehingga belum dapat memulai upaya restorasi di lapangan. 

Kemudian, kata Didy, sejak 2021 hingga 2022, BRGM telah merestorasi 514 ribu hektare lahan gambut. Pada 2022, menurut Laporan Kinerja BRGM, realisasi kegiatan restorasi tak dapat memenuhi target awal. Berbeda dengan 2021 yang terlaksana 100%. Persoalan keuangan menjadi alasannya.

Mengutip keterangan BRGM di situs webnya dijelaskan pelaksanaan restorasi gambut pada 2022 baru dimulai pada April saat Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang berisi dokumen pelaksanaan anggaran, dibuka oleh Kementerian Keuangan. Selain itu, refocusing anggaran diklaim juga ikut menekan budget BRGM yang terbilang minim.

Luas area kerja BRGM
Luas area kerja BRGM (Katadata/Amosella)



Meski diberi mandat untuk merestorasi 1,2 juta hektare ekosistem gambut, menurut Kepala Kelompok Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto, lembaganya berikhtiar untuk merestorasi 1,4 juta hektare hingga 2024 nanti. "Ini sesuai dengan data total kerusakan lahan gambut pada 2022 di tujuh provinsi prioritas," kata dia Senin (20/6).

Ia merinci lahan gambut dalam kondisi rusak ringan seluas 1,1 juta hektare, rusak sedang 222.838 hektare, rusak berat 84.662 hektare dan rusak sangat berat 4.104 hektare. Totalnya 1,4 juta hektare.

Capaian kerja BRGM
Capaian kerja BRGM (Katadata/Amosella)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Potret Kecil Revitalisasi Ekonomi Masyarakat

Terik matahari di Desa Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau, tidak menyurutkan niat Nyamin (52 tahun) untuk pergi menggembala sapi. Ternak itu dibiarkan tinggal bebas merumput di dekat kebun sawit miliknya sejak 2017.

Nyamin bercerita sapi-sapi itu merupakan hibah dari BRGM yang diberikan kepada kelompok tani di Desa Dayun. Bersama dengan 14 orang lainnya, ia merawat sapi-sapi itu hingga beranak-pinak. "Tadinya yang mengurus cuma satu kelompok, karena sapinya bertambah banyak sekarang ada dua kelompok yang mengurus," kata dia, pertengahan September lalu.

Potret revitalisasi ekonomi masyarakat
Potret revitalisasi ekonomi masyarakat (Katadata/Ezra Damara Putra)

Ia bercerita berkat sapi-sapi tersebut, perekonomian warga sedikit meningkat. Sebab, saban Iduladha sudah ada perusahaan yang siap membeli sapi-sapi sehingga mereka tak lagi bingung mencari pasarnya. "Sapi ini bisa menyekolahkan anak-anak kami dan merupakan tabungan yang jelas karena setiap lebaran haji pasti terjual," kata dia.

Masih di satu hamparan Siak, BRGM bermitra dengan organisasi sipil Winrock yang telah memiliki basis pemberdayaan masyarakat di lahan gambut di Kampung Bunsur, Kecamatan Sungai Apit, dengan mengolah sagu. Di desa yang berjarak 53 kilometer dari Dayun itu, sudah berdiri kilang sagu.

Di kilang itu, Katadata bertemu dengan Sunarto. Ia bercerita Winrock yang pertama berupaya membangun ekonomi warga dalam Kelompok Tani Buana Gambut dengan mengolah sagu. BRGM hadir belakangan. Tetapi, cerita Sunarto tak seindah Nyamin.

Sagu sebagai upaya revitalisasi masyarakat di lahan gambut
Sagu sebagai upaya revitalisasi masyarakat di lahan gambut (Katadata/Ezra Damara Putra)

Menurut dia, usaha sagu justru semakin merosot dan timbul kerugian sebesar Rp 15 juta tahun ini. Persoalan pertama, tak semua anggota kelompok tani telaten mengolah sagu dan merawat lahan sagu. Kedua, aspek keamanan yang belum terjamin. "Masalah ketiga yang cukup krusial, belum ada pihak yang berani membeli sagu dalam skala besar secara reguler," kata Nyamin.

Karena dianggap tak menguntungkan, jumlah kelompok tani semakin berkurang. Dari lima orang kini hanya tersisa dua orang.

Padahal, idealnya program revitalisasi ekonomi dilakukan untuk melibatkan masyarakat dalam penjagaan gambut, misalnya ikut memantau kondisi lahan gambut, memantau tinggi muka air gambut dan menjaga lahan agar tak terbakar di musim kemarau.

Dua kampung di Kabupaten Siak itu bagian dari Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Siak–Sungai Kampar. Ini adalah KHG terluas kedua di Riau, dengan luas lebih dari 700 ribu hektare. Berikut perbandingannya dengan KHG lainnya di Riau:

Selain di Kecamatan Dayun dan Sungai Apit, BRGM melakukan intervensi di Kecamatan Koto Gasib, Kecamatan Mempura, dan Kecamatan Pusako, yang masih berada dalam satu KHG dengan mengembangkan peternakan sapi, budi daya semangka dan nanas gambut. Namun sejak 2017, intervensi BRGM seolah-olah terpusat hanya di dua kecamatan saja yaitu Dayun dan Sungai Apit.

Di Kalimantan Tengah, provinsi dengan hamparan gambut terluas di Pulau Kalimantan, Katadata merekam kekecewaan yang sama dari masyarakat perihal intervensi revitalisasi ekonomi ala BRGM. Salah satunya disampaikan oleh Ketua Lembaga Penglola Hutan Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau, Wideni, yang juga menjabat Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA).

Menurut Deni, desanya kebagian sapi sebagai program revitalisasi ekonomi masyarakat. Semula ia senang dan berharap sapi-sapi tersebut dapat ikut dikelola oleh MPA untuk membantu operasional MPA yang ia komandoi, karena tak ada dukungan pendanaan yang memadai untuk mencegah kebakaran atau memadamkan kebakaran.

Begitu pun di desa Tanjung Taruna yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan sungai. Menurut beberapa warga, pemberian sapi yang terbatas hanya dikelola oleh kelompok tertentu dengan anggota 25 KK dari total 233 KK, perlu dikaji ulang karena tak sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya untuk mencegah kebakaran berulang.

Desa Henda dan Desa Tanjung Taruna merupakan desa yang berada di KHG Sungai Sebangau-Sungai Kahayan dan KHG Sungai Sebangau-Sungai Kapuas, yang terdampak kebakaran era 1997, sejak Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare sawah dijalankan, dan terus berulang. Menurut Reda Herman, mantan Sekretaris Desa Henda, jika dibandingkan, kebakaran tahun ini lebih besar daripada kebakaran 2019. "Api bermula dari lahan di eks PLG terus bergerak ke sini (kebunnya di Henda) mengikuti arah angin," kata dia.

Gambaran posisi desa dalam peta KHG
Gambaran posisi desa dalam peta KHG (Katadata)

Menurut Reda, program 3R yang dilakukan BRGM di Desa Henda beberapa kurang tepat. "Ada yang dikorupsi, ada yang seharusnya yang dibangun sekat di sebelah sana tetapi malah dibangun sekat di sini sehingga percuma, kebun warga ikut kena imbasnya, ada yang seharusnya dibangun sumur bor di titik sana karena yang ada airnya di sana, malah dibangun di titik yang kering sama sekali tidak keluar air. Kami sudah ingatkan tapi dipandang tidak memiliki pengetahuannya jadi diabaikan," kata dia. 

Tuntutan Perbaikan Indikator Capaian Kerja

Perjalanan Katadata menuju Desa Tanjung Taruna, Kalimantan Tengah, pada Selasa, 3 September 2023 berkejar-kejaran dengan api yang menghanguskan lahan di sisi kiri jalan. Penduduk setempat yang mendampingi perjalanan kami memperingatkan, "Ini jalan darat satu-satunya menuju desa. Jika api loncat ke sebelah, kita tidak bisa pulang dan terjebak di dalam desa."

Akses lainnya adalah sebuah sungai kecil yang telah mengering. Api merambat dengan cepat. Dalam waktu kurang dari 15 menit, kepulan asap membumbung tinggi, menerbangkan puluhan burung yang bermukim di pepohonan di sekitar ilalang yang terbakar.

Sebelum menuju Tanjung Taruna, tim berhenti di sebuah warung kelontong di pinggir jalan trans-Kalimantan, sekitar 7 kilometer sebelum memasuki desa Tanjung Taruna yang berada di pinggir Sungai Kahayan. Asap dan jelaga menjadi pemandangan di belakang warung.

Dengan diantar anak pemilik warung, kami menyusuri kebun seluas dua hektare yang sudah hangus. Di sana, kami menemukan dua titik sumur bor yang terbakar. "Masih ada lagi di belakangnya tapi nggak bisa digunakan," ujar pemilik warung tersebut.

Sumur bor terbakar
Sumur bor terbakar (Katadata/Ezra Damara Putra)

Tanjung Taruna merupakan desa intervensi BRGM yang memiliki 409 sumur bor, namun, hanya 321 sumur bor yang dapat beroperasi dengan baik untuk pembasahan maupun pemadaman. Idealnya, sebagai infrastruktur pembasahan lahan gambut, sumur bor memiliki peran vital untuk membasahi lahan gambut yang kering agar tak terbakar, bukan hanya sebatas sebagai sumber air untuk memadamkan api.

Di Desa Henda, menurut Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Wideni, dari 135 titik sumur bor yang dibangun pada 2015-2016, hanya sebanyak 128 yang masih dalam kondisi baik. "Ini yang diserahkan kepada kami di regu MPA 1 beserta alat-alatnya. Kami terus lakukan pengecekan meskipun dengan segala keterbatasan," kata dia.

Pada 2017-2018, BRGM kembali membangun sumur bor berjumlah 186 titik dan diserahkan kepada regu MPA 2. "Kalau yang 186 saya tidak tahu berapa jumlah pasti yang bisa digunakan, tetapi saya yakin tidak semunya berfungsi baik," kata dia.

Terlebih pembangunan sumur bor di periode tersebut diwarnai persoalan korupsi yang menyeret mantan Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Kalteng, Arianto, ke dalam meja hijau bersama sekondannya Mohammad Seman, yang merupakan konsultan pengawas dalam proyek tersebut. Keduanya dianggap bersalah dalam tindak pidana korupsi proyek 700 sumur bor di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Menurut Deni, puluhan sumur bor yang diduga hasil korupsi tersebut dibuat seadanya. "Harusnya sumur bor digali hingga pipanya mencapai kedalaman lapisan akuifer pertama, sekitar 60 meter ke bawah. Tetapi yang kami temukan di lapangan, pipanya hanya menancap 2 meter ke bawah, mau dapat air dari mana?"

Beberapa sumur bor juga kondisinya rusak akibat kebakaran atau terlindas alat berat ketika pihak swasta membangun kebunnya. Ada pula sumur bor yang dibangun tanpa meminta consent dari masyarakat pemilik kebun sehingga menimbulkan konflik.

Persoalan serupa juga ditemukan dalam pembangunan sekat kanal. "Ada beberapa titik yang dibangun sekat kanal tanpa berkonsultasi dulu dengan masyarakat, tapi ada juga yang seharusnya dipasang di situ justru tidak dipasang. Sehingga bukannya membantu tapi malah mengganggu aktivitas berkebun dan transportasi masyarakat," kata dia.

Selain itu, kata Deni, material yang digunakan untuk membangun sekat kanal umumnya adalah kayu galam yang memiliki usia pakai rata-rata tiga tahun. Sehingga pada saat ini, banyak sekat kanal yang sudah rusak dan tak berfungsi lagi.

Sekat kanal di Riau
Sekat kanal di Riau (Katadata/Ezra Damara Putra)

Sekat kanal dan sumur bor yang telah rusak juga ditemukan di Riau, salah satunya di Pelintung, Kabupaten Siak, yang dikukuhkan menjadi Desa Mandiri Peduli Gambut binaan BRGM. Lurah Pelintung Zamhuri mengatakan beberapa sekat kanal sudah rusak sehingga menyebabkan kekeringan lahan cepat terjadi.

Akibatnya, meski sudah dibangun sumur bor dan sekat kanal untuk menjaga kadar air, wilayahnya langganan terbakar setiap tahun. Di tahun ini, mereka mengalami kebakaran sebanyak dua kali. "Setelah kebakaran besar bulan Mei lalu, kebakaran gambut terjadi lagi pada Agustus. Bedanya, api cepat padam karena ada pasang, air laut naik api pun padam," kata dia.

Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengatakan pola intervensi BRGM dengan menetapkan DMPG masih belum maksimal untuk memulihkan kualitas gambut. Sebab, kata dia, kebanyakan desa-desa yang dipilih menjadi DMPG tidak memiliki riwayat kebakaran besar dan tutupan gambutnya tak begitu luas.

Seharusnya, kata dia, pemilihan desa untuk diintervensi baik melalui DMPG maupun 3R harus sesuai dengan kebutuhan. "Basisnya adalah desa yang memiliki tingkat kerentanan tinggi, kebakarannya cenderung besar dan wilayah gambutnya luas," kata dia.

Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero, mengkritik indikator capaian yang ditetapkan BRGM. Menurut ahli forensik karhutla tersebut, terlaksananya sebuah paket proyek bukan merupakan sebuah capaian program atau indikator keberhasilan sebuah program.

Ia memberi contoh, untuk rewetting capaian kinerja idealnya diukur dari kelembapan gambut dan tingkat kebasahan gambut yang sehat. "Bisa jadi infrastruktur terkait dengan gambut banyak dibangun tetapi tidak mendapatkan sentuhan perawatan. Seharusnya ada audit berkala dari KLHK dan BRGM," kata dia.

Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengatakan hal serupa. Menurut Bayu, selama program restorasi masih dijalankan sebatas proyek dengan capaian volume bukan kualitas gambut, pemulihan ekosisem gambut yang rusak dan kritis tidak tercapai.

Foto udara karhutla gambut di Kalimantan Tengah
Foto udara karhutla gambut di Kalimantan Tengah (Katadata/Ezra Damara Putra)

Ia mengatakan penanganan restorasi gambut seharusnya dilakukan secara sistematis dengan melibatkan para pihak. Ia memberi contoh KHG Sungai Sebayan-Sungai Kahayan yang di dalamnya terdapat peran KLHK, BRGM, pemerintah daerah dan pihak swasta pemegang izin berusaha di dalam kawasan gambut.

Menurut dia, BRGM gagal memetakan dan mengkonsolidasikan upaya restorasi yang dilakukan para pihak. "Sederhana saja, kita bisa melihat dalam satu KHG itu mana yang memegang wilayah paling luas. Jika itu private sector atau perusahaan, BRGM sampai saat ini belum maksimal melakukan supervisi atau menekan perusahaan untuk merestorasi," kata dia.

Berbicara capaian, kata Bayu, seharusnya diukur juga dari upaya pihak yang mengelola wilayah gambut yang paling luas dalam satu KHG. "Sehingga dampaknya bisa lebih optimal dan signifikan," kata dia.

Khusus mengenai 3R, menurut Bayu, Walhi Kalteng telah melakukan kajian singkat mengenai efektivitasnya dalam memulihkan ekosistem gambut. Hasilnya, kata dia, tidak dilakukan identifikasi oleh BRGM atas area yang mempengaruhi penurunan kualitas ekosistem gambut. "Misalnya membangun sekat kanal dan sumur bor tanpa melakukan FPIC sehingga penempatannya tidak mendukung upaya ekonomi masyarakat dan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan restorasi," kata dia.

Kedua, ia melanjutkan, pembangunan sumur bor yang tidak tepat karena cenderung ke arah yang kerentanannya rendah. Sementara masukan masyarakat terkait lokasi yang tepat untuk dibangun sumur bor tidak didengarkan dengan baik dan banyak sumur bor yang tidak dibangun sesuai spesifikasi dan kebutuhan di lapangan.

Dalam konteks penanganan karhutla, terutama di area gambut, baik Bambang Hero maupun Bayu menganggap pemerintah masih gagap karena restorasi terkesan masih jalan di tempat. "Kita tidak pernah bisa belajar dari kesalahan di periode El Nino yang sudah-sudah," kata Bambang.

Sementara itu dari kacamata Bayu, pemerintah selalu terkesan berada di belakang api, bukan di depan. "Pemerintah terkesan fokusnya hanya pada pengendalian api bukan pencegahan. Kalau begini terus, tidak menyelesaikan akar masalahnya," kata dia.

 

Editor: Dini Pramita

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami