Pengamat Ungkap Kendala Budidaya Lobster, Kembali ke Alam Jadi Pilihan
Pengamat perikanan memaparkan, pasokan pakan sebagai salah satu penyebab minimnya proses budidaya lobster di Indonesia. Oleh karenanya, proses pengembang biakan benih lobster, saat ini lebih banyak dilakukan di alam.
Sebab, selain masih belum banyak pabrik memproduksi pakan lobster, pencarian pakan melalui sumber lain seperti ikan runcah berpotensi menyebabkan konflik baru antara nelayan. Untuk membesarkan satu kilogram (kg) lobster dibutuhkan setidaknya 50 kg ikan rucah (ikan kecil) sebagai pakan.
"Hasil penelitian perbandingan untuk menghasilkan satu kg lobster yang dibesarkan di karamba membutuhkan 30 - 50 kg ikan rucah. Artinya kalau dilakukan akan ada eksploitasi besar-besaran yang mengancam sumber daya ikan lainnya," kata Tenaga Ahli Individual Bidang Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Suhana saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (17/12).
Di Indonesia, penangkapan ikan rucah di Indonesia tidak diperbolehkan menggunakan jaring trawl. Berbeda dengan Vietnam yang yang masih memperbolehkan nelayan menggunakan jaring tersebut sehingga pasokannya melimpah.
"Di Vietnam pakannya mengambil dari ikan rucah hasil tangkapan dari kapal trawl," kata dia.
(Baca: Ekspor Benih Lobster Diprotes, Menteri Edhy: Saya Tidak Akan Mundur)
Suhana juga menambahkan, hingga saat ini tidak ada satupun pabrik di Indonesia yang memproduksi pakan lobster. Riset dan pengembangan untuk menghasilkan pakan lobster yang dilakukan pemerintah juga masih rendah sehingga belum banyak solusi yang dihasilkan terkait maslah penyediaan pakan.
Akibatnya, pengembangan budidaya lobster hingga saat ini masih belum dapat optimal Sehingga, produksi lobster dunia sampai saat ini masih tergantung pada hasil tangkapan.
Data Food and Agricultire Organization (FAO) menunjukkan, selama periode 2010-2016 sekitar 96,91 % produksi lobster Indonesia bersumber dari perikanan tangkap dan 3,09 % dari budidaya. Namun demikian, pasokan benih lobster untuk budidaya masih bersumber dari penangkapan di alam.
Hal serupa juga tampak pada total produksi lobster dunia periode 2010-2016, yang mana 99,54% berasal dari perikanan tangkap. Sementara dari budidaya hanya menyumbang sekitar 0,46%.
"Share perikanan budidaya terhadap produksi lobster dunia terlihat cenderung stagnan. Artinya budidaya lobster di dunia sampai saat ini tidak berkembang dengan baik, produksi lobster masih mengandalkan produksi dari alam," kata dia.
Karenanya, menurut dia, lobster sebaiknya dibiarkan berkembang biak di alam bebas. Hal tersebut sekaligus membantah pernyataan yang menyebutkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) benih lobster di alam sangat kecil berkisar di angka 1%. Sehingga, KKP berencana membuka keran ekspor benih lobster.
"Untuk menghitung atau meneliti peluang hidup itu sangat sulit," kata dia.
(Baca: Sanggah Menteri Edhy, Pengamat: Produksi Lobster Masih Andalkan Alam)
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menegaskan tak akan mundur dalam rencana membuka keran ekspor benih lobster meski menuai protes. Untuk memuluskan langkahnya, Edhy menyiapkan beberapa aturan terkait ekspor benih lobster.
Edhy menilai rencana membuka ekspor akan membantu kehidupan para nelayan. "Saya tidak akan pernah mundur, karena yang saya perjuangkan adalah keberlanjutan nelayan kita, lingkungan kita dan alam kita," kata Edhy di Jakarta, Rabu (18/12).
Edhy menyatakan sekitar 29 aturan akan dibenahi untuk membuka akses ekspor benih lobster. Kebijakan politikus Partai Gerindra itu mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Jokowi menyatakan kebijakan ekspor benih lobster harus dilihat dari efek kemanfaatannya. Namun juga harus memperhatikan dampak lingkungan.
“Keseimbangan itu paling penting, bukan hanya bilang jangan ekspor. Tetapi jangan juga semua diekspor, enggak benar,” kata Jokowi, Selasa (17/12).