Produksi Pangan RI Diprediksi Anjlok 30% Imbas Kenaikan Suhu Udara
Indonesia diprediksi akan mengalami penurunan produksi pertanian hingga 30% pada 2030. Penurunan produktivitas pertanian tersebut disebabkan karena kenaikan suhu udara sebagai dampak dari perubahan iklim.
Aktvis dan Pengkampanye Greenpeace, Adila Isfandiari, menyampaikan pertanian merupakan sektor paling terdampak terhadap perubahan iklim. Sektor pertama adalah kelautan dan pesisir.
“Perbuhan iklim atau krisis iklim saat ini sudah membawa dampak yang begitu besar bagi pertanian, baik itu gagal panen bahkan gagal tanam,” kata Adila dalam acara Greenpeace bertajuk ‘Berhenti Basa-Basi Buat Bumi’ di Jakarta, Rabu (12/5).
Adila mengatakan, adanya curah hujan yang tinggi, kenaikan suhu udara, hingga musim kemarau panjang yang terjadi pada tahun ini menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan. Kejadian iklim yang sangat ekstrem seperti banjir dan kekeringan berpotensi menyebabkan gagal panen.
“Banyak para petani mengeluh kalau mereka sudah tidak bisa memprediksi musim lagi, karena cuaca sudah terlalu ekstrem dengan curah hujan yang tinggi sekali atau kemarau yang berkepanjangan,” kata dia.
Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) selama delapan tahun terakhir yaitu dari 2015-2022 terkonfirmasi sebagai tahun terpanas. Bahkan, Juni-Oktober 2023 menjadi bulan terpanas yang lebih ekstrem lagi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
“Pencatatan NASA tahun ini merupakan tahun terpanas selama 100 tahun terakhir. Jadi memang panasnya itu benar benar berlebihan di 2023 ini, dan juga adanya El Nino,” kata Adila.
Stok Pangan Makin Rentan
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, megatakan cuaca yang sangat panas pada tahun ini merupakan dampak dari perubahan iklim yang juga memberi tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka. Hal itu menghasilkan apa yang dikenal dengan water hotspot.
Dia mengatakan, kondisi tersebut semakin meningkatkan kerentanan terhadap stok pangan dunia. FAO atau Organisasi Pangan dan Pertanian bahkan memperkirakan terjadi bencana kelaparan akibat krisis pangan pada 2050, jika kondisi seperti saat ini terus terjadi.
Untuk mencegah hal tersebut, dia mengatakan, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerjasama dan bergotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Aksi mitigasi tersebut mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.
Dwikorita mengatakan, implementasi strategi mitigasi dan adaptasi harus digencarkan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Apalagi, suhu udara permukaan di Indonesia diproyeksikan akan terus naik di masa yang akan datang.
Berdasarkan Global Food Security Index (GFSI), pada 2022 indeks ketahanan pangan global berada di level 62,2 dari skala 100. Angka tersebut lebih rendah dibanding sebelum pandemi, di mana indeks ketahanan pangan global sempat mencapai 62,6 pada 2019.