Emisi Gas Rumah Kaca Perang Gaza Jauh Lebih Besar dari Konflik Ukraina
Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, menyayangkan masih ada negara yang berperang di tengah ancaman emisi gas rumah kaca semakin meningkat. Pasalnya, perang melepaskan emisi gas rumah kaca yang sangat besar dalam waktu singkat.
Dia mencontohkan perang di Ukraina telah mengakibatkan pelepasan emisi gas rumah kaca hingga 33 juta ton hanya dalam waktu dua tahun. Sementara perang di Gaza, Palestina, telah menyebabkan 60,3 juta ton emisi gas rumah kaca lepas hanya dalam waktu 35 hari saja.
"Semua pihak harus bekerja sama melakukan aksi mitigasi dan adaptasi, karena sesungguhnya perubahan iklim adalah masalah global," ujar Rachmat dikutip dari Antara, Jumat (8/12).
Rachmat merupakan tokoh penting dunia dalam isu perubahan iklim. Dia pernah menjabat sebagai Presiden COP13 atau Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB yang berlangsung di Bali tahun 2007. Konferensi itu menghasilkan dokumen Bali Road Map yang kini dipakai sebagai pijakan aksi pengendalian perubahan iklim global.
Mayoritas Emisi Diproduksi Negara Maju
Rachmat mengatakan, negara maju memiliki tanggung jawab besar dalam mengendalikan perubahan iklim. Mereka menyumbang sekitar 67 persen emisi gas rumah kaca global pada 2023.
"Perubahan iklim terjadi, karena emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia," ujarnya.
Negara maju yang memproduksi emisi gas rumah kaca terbesar adalah China, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang.Negara-negara maju yang menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar memiliki tanggung jawab lebih, di antaranya menyediakan pendanaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS.
"Mereka telah menjanjikan pendanaan iklim tersebut, namun saat ini janji itu belum juga terealisasi," ujarnya.
Di Paviliun Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB 2023 atau COP28 Dubai, Rachmat mengingatkan semua pihak bahwa ancaman perubahan iklim semakin nyata. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya rata-rata suhu global.
Dia mengajak semua pihak untuk bekerja sama dan berkolaborasi melakukan aksi nyata untuk mengatasi persoalan tersebut.
"Suhu rata-rata pada 2022 lebih tinggi 0,91 derajat Celsius dibandingkan periode 1951-1980," kata Rachmat yang menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup periode 2004-2009 tersebut.
Lebih lanjut, dia mengatakan dampak perubahan iklim dirasakan semua makhluk hidup di bumi, namun yang paling rentan adalah keanekaragaman hayati. Flora dan fauna yang tidak mampu beradaptasi terancam punah.
Dia menyatakan pentingnya negosiasi di forum seperti Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB untuk memperkuat aksi nyata yang harus dilakukan.
"Negosiasi adalah elemen penting dalam menghadapi perubahan iklim," kata Rachmat.