Auriga: Kasus Kekerasan terhadap Pembela Lingkungan Terus Meningkat
Keselamatan pembela lingkungan di Indonesia terus terancam, bahkan seringkali berujung kematian. Auriga Nusantara mencatat sejak 2014 hingga 2023 terdapat 133 kasus kekerasan yang menimpa para pembela lingkungan.
Yang lebih parah, dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan kasus kekerasan terhadap para aktivis ini. Pada 2020 terdokumentasi 14 kasus yang mengalami peningkatan dua kali lipat dari 2019. Pada 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap para aktivis lingkungan ini meningkat menjadi 24 kasus kemudian menjadi 27 kasus pada 2022. Pada 2023, angkanya naik lagi menjadi 30 kasus.
Direktur Eksekutif Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan melihat fenomena tersebut perlu adanya perlindungan bagi pembela lingkungan. “Negara tidak terlalu melindungi, kurang melindungi atau gagal melindungi (aktivis lingkungan) sehingga masyarakat sipil harus membangun sendiri perlindungan terhadap dirinya,” kata Timer dalam talkshow yang berjudul ‘Status Pembela Lingkungan Hidup 2014-2023’ yang disiarkan di Youtube Auriga Nusantara, Jumat (19/1).
Dalam laporan Auriga Nusantara, ancaman terhadap pembela lingkungan hampir merata di seluruh Indonesia. Namun, Timer mengatakan kasus di Pulau Jawa yang paling banyak. “Mungkin kami melihatnya bukan karena kasusnya paling banyak tapi bisa jadi adalah liputan media nya lebih tinggi,” ujarnya.
Auriga Nusantara melaporkan terdapat 36 kasus di Pulau Jawa, 30 kasus di Pulau Sumatera, 23 kasus di Pulau Sulawesi, 22 kasus di Pulau Kalimantan, 15 kasus di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, 5 kasus di Kepulauan Maluku, dan 2 kasus di Papua.
“Papua menurut kami tidak banyak terekam karena memang informasinya minim. Sedangkan Maluku ada 5 kasus yang terekam. Padahal, kita tahu persis bahwa tambang saat ini bergerak, dan banyak di Maluku terutama nikel,” ujar dia.
Timer menuturkan jenis-jenis ancaman yang paling banyak dialami para pembela lingkungan adalah kriminalisasi. “Jadi ,lebih dari separuh kasus itu berupa kriminalisasi, baru menyusul kemudian kekerasan fisik jadi pemukulan dan segala macam. Yang ketiga adalah intimidasi,” kata Timer.
Kasus Kriminalisasi hingga Pembunuhan
Menurut data Auriga, dari 133 kasus ada 82 kasus terkait kriminalisasi, 20 kasus kekerasan fisik, dan 15 kasus intimidasi. Kemudian, 12 kasus pembunuhan, dua kasus perusakan properti, dan dua kasus imigrasi/deportasi.
“Dari 2014-2023 datang kita rekam pembunuhan cukup tinggi. Jadi hampir ada setiap tahun kalau dilihat secara statistik itu,” kata Timer
Timer mengatakan di Pulau Sumatra ada lima kasus. “Saya perlu sebut namanya satu-satu karena kita perlu menghormati mereka,” ujar dia. Di Sumatra Utara ada Maradam Sianipar yang dibunuh pada 2019, Golfri Siregar dibunuh pada 2019, dan Martua Siregar dibunuh pada 2019.
“Ada Erni Pinem yang dibunuh pada 2022. Kemudian, di Jambi ada Indra Pelani dibunuh pada 2015,” kata Timer.
Di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta, ada kasus pembunuhan terhadap Jopi Peranginangin pada 2015. Selain itu, ada kasus pembunuhan Salim Kancil pada 2013 yang juga sangat fenomenal ceritanya.
Selanjutnya, kata Timer, Gijik dibunuh pada 2023 di Kalimantan Tengah dan Jurkani dibunuh pada 2021 di Kalimantan Selatan.
“Di Sulawesi Tengah ada Erfaldi Erwin yang dibunuh pada 2022 dan Armand Damopolii dibunuh pada 2021 di Sulawesi Utara. Terakhir, ada Marius Batera yang dibunuh pada 2020 di Papua,” ucapnya. Hal ini merupakan gambaran bahwa pembela lingkungan tidak dilindungi.
“Apakah pelaku dihukum? Menurut kami hukumannya tidak setimpal dan bahkan banyak yang tidak ketahuan, kasus Golfrid misalnya, sampai sekarang kitatidak tahu siapa yang membunuhnya,” kata Timer.
Untuk menekan kasus kekerasan terhadap para pembela lingkungan, berikut hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, perlu pembaruan aturan-aturan yang sudah ada atau membentuk regulasi baru yang pro-pembela lingkungan.
Kedua, evaluasi prosedur di institusi pemerintah dan penegak hukum agar pro-pembela lingkungan dan tidak semena-mena mengkriminalisasi.
“Ketiga, tampaknya negara belum hadir sehingga masyarakat sipil membangun sendiri instrumen penyelamatan. Maka, untuk membangun protokol tadi harus mempunyai solidaritas dan soliditas di antara pembela lingkungan,” katanya. Untuk itu, perlindungan terhadap pembela lingkungan menjadi kewajiban dan harus menjadi prioritas bagi pemerintah.