BMKG Ungkap 3 Pemicu Kenaikan Suhu di Indonesia, Sudah Dekati Ambang Batas 1,5 C
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat tiga pemicu kenaikan suhu di Indonesia. Secara global, kenaikan suhu tersebut telah mendekati ambang batas 1,5 derajat celsius yang menjadi target peningkatan suhu global dalam Perjanjian Paris 2015.
Sekretaris Utama BMKG, Dwi Budi, mengatakan peningkatan suhu di dunia telah mencapai 1,4 derajat celius dalam kurun waktu 1970 sampai dengan 2023 sebesar 1,4 derajat celsius (C). Dia mengatakan, terdapat tiga pemicu terbesar peningkatan suhu di Indonesia yaitu area urban yang padat, area pembangkit listrik fosil, serta kebakaran hutan dan lahan.
Dwi mengatakan, perubahan iklim diperburuk oleh peningkatan kadar gas nitrogen oksida (NO2). Berdasarkan pemantauan satelit Tropimi pada Agustus 2023 terdapat beberapa wilayah yang memiliki konsentrasi gas NO2 terbesar di Indonesia.
"Dari satelit Tropimi pada bulan 21 Agustus 2023, konsentrasi tertinggi terlihat di area urban dan sekitar fasilitas pembangkit listrik," ujar Dwi dalam agenda bertajuk Climate and Air Quality Fair, di Jakarta, Selasa (15/10).
Selain persebaran gas NO2, peningkatan suhu di Indonesia juga terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla. Sepanjang 2023, karhutla paling banyak terjadi di pulau Kalimantan dan Sumatera.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) luas karhutla periode 1 Januari sampai dengan 30 September 2024 sebesar 283.620 hektare (ha). Catatan tersebut terdiri dari luas karhutla lahan gambut seluas 25.193,57 ha atau 8,88%, dan pada tanah mineral seluas 258.4265 ha atau 91,12%.
Luas areal terbakar tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 93.572,19 ha pada tanah mineral, Nusa Tenggara Barat 34.430,48 ha pada tanah mineral dan Jawa Timur sebesar 18.822,62 ha terdiri pada tanah mineral.
Adapun, Emisi karbon yang dihasilkan dari karhutla periode 1 Januari sampai dengan 30 September 2024 sebesar 41.201.963 ton CO2e yang terdiri dari emisi kebakaran gambut sebesar 11.589.698 ton CO2e dan emisi kebakaran mineral dan gambut sebesar 29.612.265 ton CO2e.
Dwi mengatakan, karhutla terburuk yang dialami Indonesia terjadi pada 2015 yang menyebabkan kerugian sampai Rp 200 triliun. Meski begitu, ia mengklaim saat ini jumlah karhutla sudah dapat diminimalisir dengan adanya modifikasi cuaca.
Ia menyebut, BMKG memanfaatkan satelit untuk dapat mengetahui wilayah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan. Setelah mengetahui titik lokasi, BMKG menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk dapat melembabkan wilayah yang berpotensi terbakar.
"Dari citra satelit keliatan gambut yang mulai kering kita kasih modifikasi cuaca," ucapnya
Dwi melanjutkan, polutan tersebut akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainya. Pasalnya, polutan yang disebabkan dua faktor tersebut berpotensi membentuk asam sulfat dan membuat hujan asam.
"Hujan asam merusak lingkungan dan ekosistem perairan dan juga menyebabkan penyakit," ujarnya.