UNESCO dan Indonesia Pertahankan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia

Hari Widowati
22 Mei 2024, 19:36
Wisatawan mancanegara berjalan di dekat saluran irigasi di area persawahan yang menerapkan pengairan lahan pertanian menggunakan pompa air bertenaga surya di Subak Lauh Batu, Desa Keliki, Gianyar, Bali, Selasa (23/4/2024).
ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/foc.
Wisatawan mancanegara berjalan di dekat saluran irigasi di area persawahan yang menerapkan pengairan lahan pertanian menggunakan pompa air bertenaga surya di Subak Lauh Batu, Desa Keliki, Gianyar, Bali, Selasa (23/4/2024).
Button AI Summarize

Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) akan terus merawat dan mempertahankan kelestarian Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Subak adalah sistem pengairan tradisional di Bali.

Sistem irigasi Subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga secara turun temurun. Pada 29 Juni 2012, UNESCO menetapkan Subak sebagai warisan budaya dunia.

"Subak yang dikelola masyarakat adat Bali melalui mekanisme irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita Karana (keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan) dinilai mampu menjadi contoh harmonisasi hubungan antara air dengan manusia," ujar Xing Qu, Deputy Director General of UNESCO, dalam sambutannya di diskusi “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management” pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10, di BICC, Nusa Dua, Selasa (21/5).

Salah satu upaya yang dilakukan UNESCO adalah dengan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21. "Semuanya sangat terkait erat dalam konteks Subak,” kata Xing Qu.

Ia juga memaparkan sejumlah inisiatif dan program yang dilakukan UNESCO dalam meningkatkan promosi dan edukasi terkait dengan bagaimana memanfaatkan air secara bijak. Inisiatif itu antara lain dukungan pendidikan terkait dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air lintas batas. Upaya ini selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World Water Forum ke-10 di Bali.

“Kita harus merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengkonsumsi dan mengolah air. Kami juga akan merilis inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan,” ungkap Xing Qu.

Xing Qu pun menyampaikan kekagumannya terkait dengan kehidupan masyarakat Bali yang selalu berhubungan erat dengan air. Sejak lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali itu selalu melekat dengan air.

Jika masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, kondisi ini akan menjadi ancaman. Menurut dia, jika hal itu terjadi, dampak krisis air tidak hanya dialami oleh masyarakat di Bali. Hal ini juga berpotensi menimpa warga dunia lainnya.

Tata Kelola Air sebagai Kearifan Lokal

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengungkapkan kearifan lokal soal tata kelola air sudah melekat di masyarakat Indonesia. Selama ribuan tahun, masyarakat Nusantara sudah mengolah air sebagai sumber utama kehidupan. Kearifan lokal ini menjadi ‘perpustakaan peradaban’ yang sangat besar dan berkontribusi bagi masyarakat global.

“Apabila kita mau mempelajari khazanah itu dengan baik, kita semua akan bisa menemukan solusi atas permasalahan air yang kita hadapi saat ini," kata Hilmar.

Bali telah memiliki basis nilai pengelolaan air yakni solidaritas dan konektivitas. Oleh karena itu, masyarakat yang hidup di hilir dan menikmati air dari hulu, juga harus bisa berterima kasih kepada masyarakat di hulu.

Jati Luwih
Wisatawan mancanegara menikmati pemandangan Jati Luwih, di Bali. (Info Publik World Water Forum ke-10/Agus Siswanto)

Menurut dia, isu pengelolaan air sangat kompleks karena perlu penanganan komprehensif dan dibutuhkan kerja sama lintas negara. Subak bisa menjadi contoh yang baik karena sistem pengelolaan air ini menawarkan cara yang efektif dan berkelanjutan.

Filosofi air bagi masyarakat Bali juga ditegaskan oleh I Ketut Eriadi Ariana, Sekretaris DPP Peradah Indonesia Bali. Ia mengatakan, masyarakat Bali menganggap air sebagai representasi manusia secara menyeluruh, baik di dalam maupun di luar.

“Ketika mata air hilang, pikiran orang Bali pun hilang," tuturnya. Ada teks kuno Bali yang membicarakan soal pengelolaan air dan berbagai aturan cara menjaga dan merawat air. Subak tidak hanya sekadar terasering, tapi merupakan bentuk solidaritas.

Dalam mengatasi berbagai tantangan isu air, butuh kolaborasi bersama. Hal ini juga mencakup pemberdayaan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan petani, serta edukasi secara berkelanjutan.

“Saya tekankan, tata kelola air dunia, harus didasari oleh nilai solidaritas dan konektivitas sehingga bisa keluar dari malapetaka air,” katanya.

Selama penyelenggaraan World Water Forum ke-10, peserta dan pengunjung juga bisa menyaksikan pameran jejak rempah bertajuk “Telu, Spice Market, Balinese Culture Art” dan “Subak Cultural Landscpe” di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, pada 21-25 Mei 2024.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...