Pulau Indonesia Marak Diprivatisasi, Sejumlah Regulasi Perlu Dievaluasi
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap maraknya privatisasi sejumlah pulau kecil di Indonesia. Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, mengatakan tercatat lebih dari 226 pulau yang sudah diprivatisasi hingga 2023 lalu.
Athiqah mengutip data tersebut berdasarkan catatan dari organisasi nirlaba Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Salah satu praktik privatisasi tersebut antara lain transaksi jual beli yang berujung pada pengelolaan dan pemanfaatan pulau oleh perseorangan.
"Pulau tersebut paling banyak di DKI Jakarta dan Maluku Utara," ujarnya di Jakarta, Senin (15/7) seperti dikutip dari Antara.
Pernyataan tersebut diberikan Athiqah saat memberikan sambutan dalam webinar berjudul "Masa Depan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Menghadapi Industri Ekstraktif" yang ditayangkan secara daring, Rabu (10/7).
Selain privatisasi, Athiqah juga menyoroti dampak negatif dari industri ekstraktif di pulau-pulau kecil. Industri ekstraktif tersebut seperti pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran bagi masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.
Dia mengatakan, kegiatan industri ekstraktif juga bisa menyebabkan pulau kecil tenggelam. Ini menunjukkan terjadinya kerentanan di pesisir yang sifatnya tidak hanya ekologis, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya.
"Hal itu tidak hanya karena perubahan iklim, tetapi juga aktivitas industri ekstraktif," kata Athiqah.
Athiqah menyebut beberapa tahun terakhir pihaknya mencermati bagaimana kebijakan hilirisasi dan masifnya kegiatan pertambangan serta perluasan industri ekstraktif.
Ia menilai kegiatan industrialisasi, seperti proyek hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, juga pertambangan biji besi dan tambang emas di Sulawesi Utara, berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem di pesisir laut dan pulau-pulau kecil.
"Dampak lingkungannya jelas, bahwa terjadi pencemaran logam berat, misalnya di sungai-sungai di sekitar pabrik di wilayah tersebut. Khususnya di pertambangan nikel yang tidak hanya pencemaran air, tapi juga pencemaran udara, hancurnya hutan, serta penggusuran kebutuhan petani akibat ekspansi tambang nikel," ujarnya.
Menurutnya, aktivitas industri ekstraktif tersebut berdampak kepada masyarakat setempat. Ruang hidup mereka seolah terampas, yang ditandai dengan semakin terbatasnya akses masyarakat untuk melaut.
Untuk itu Athiqah menekankan kepada pemangku kepentingan terkait untuk kembali merefleksi berbagai peraturan yang ada sebelum memutuskan sebuah tindakan, seperti yang belum lama ini terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Regulasi tersebut misalnya terkait pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014,
"Pada regulasi tersebut pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia mestinya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam, serta sistem ekologi secara berkelanjutan," ucap Athiqah.
Artikel di atas merupakan revisi dari artikel sebelumnya berjudul "BRIN Sebut 200 Pulau RI Dijual, Terbanyak di Jakarta dan Maluku Utara" setelah melakukan konfirmasi lebih lanjut pada narasumber. Data jumlah pulau yang diprivatisasi diambil berdasarkan catatan Kiara.