Jakarta Kembali Jadi Kota dengan Kualitas Udara Terburuk di Dunia
Jakarta kembali menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada Senin pagi (19/8). Berdasarkan data yang dihimpun situs pemantau kualitas udara IQAir pada Rabu (14/8) pukul 08.28 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) poin Jakarta sebesar 170 atau berada dalam kategori tidak sehat.
Kategori tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah tersebut tidak sehat bagi manusia untuk beraktivitas di luar ruangan.
Selain Jakarta, terdapat dua kota di Indonesia yang masuk dalam 60 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, Kota tersebut adalah Medan dan Batam. Medan menempati posisi ke 42 dengan Indeks AQI sebesar 58, dan Batam menempati posisi ke 58 dengan Indeks AQI sebesar 52 atau berada pada kategori sedang.
Adapun kategori sedang yakni kualitas udaranya tidak berpengaruh buruk pada kesehatan manusia ataupun hewan, tetapi berdampak pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.
Sementara kota dengan kualitas udara terburuk di dunia di posisi kedua ditempati oleh Lahore di Pakistan dengan AQI poin sebesar 164, ketiga Manama di Bahrain dengan AQI poin sebesar 158, keempat ada Kinshasa di Kongo dengan AQI poin sebesar 158, kelima ada Kuwait City di Kuwait dengan AQI poin sebesar 156.
Jakarta Butuh 71 Titik Stasiun Pemantai Kualitas Udara
Provinsi DKI Jakarta hingga saat ini memerlukan 71 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) agar intervensi kebijakan dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
"Saat ini baru terealisasi 31 titik," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, bahwa kebutuhan data yang akurat terkait SPKU juga dibutuhkan dari sektor kesehatan, pendidikan dan transportasi. Menurut dia, 31 titik SPKU yang tersebar di wilayah DKI itu masih sangat kurang untuk memantau kualitas udara di Jakarta.
Ia menjelaskan, dari hasil kajian yang ada bahwa kebutuhan SPKU di DKI mencapai 71 unit atau sekitar empat SPKU per kecamatan.
"Kami memang sudah mengkaji kebutuhan SPKU dan jumlah 71 unit ini merupakan kajian," katanya.
Asep melanjutkan bahwa dengan adanya SPKU ini, maka banyak intervensi kebijakan yang dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
Ia mencontohkan bahwa untuk sektor kesehatan, dengan akurasi data terkait kualitas udara di suatu daerah maka petugas atau dinas kesehatan dapat mengintervensi melalui persiapan obat-obatan terutama yang berhubungan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Begitu juga pada sektor transportasi, kata Asep, ketika di suatu lokasi kualitas udara memburuk, maka petugas Dinas Perhubungan dapat memberlakukan sejumlah rekayasa dalam mengurangi jumlah kendaraan.
"Akurasi data terkait kualitas udara untuk dinas kesehatan nanti bisa menentukan intervensi terhadap kondisi penyakit yang diderita. Ini bisa merujuk dari data yang dihasilkan oleh SPKU," katanya