Deliana Winki, Menyatukan Anak-anak Muda Dayak di Sekolah Adat
F Deliana Winki, Pendiri dan pengajar Sekolah Adat Arus Kualan, menjadi salah satu dari enam pemuda Indonesia yang diundang sebagai representasi Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi Biodiversitas PBB COP16 di Cali, Kolombia. Ia terpanggil untuk mendirikan Sekolah Adat Arus Kualan karena ingin menyelamatkan anak-anak muda Dayak Simpang dari pengaruh luar yang dapat merusak pengetahuan tradisional.
Deliana mendirikan Sekolah Adat Arus Kualan bersama perempuan adat lainnya, yang bernama Plorentina Dessy Elma Thyana pada 2014.
"Di Sekolah Adat Arus Kualan, semua orang bisa menjadi guru. Alam raya adalah ruang kelas kami, tidak ada dominasi, semua individu adalah sama," ujar Deliana. Sekolah tersebut bertujuan untuk menyatukan anak-anak Dayak, sehingga mereka kembali pada nilai-nilai adat, belajar mengenai pengetahuan tradisional, dan kearifan lokal.
Di sekolah itu, mereka juga ditanamkan rasa identitas yang kuat, yang menekankan pentingnya tumbuh sebagai orang Dayak di era modern. Saat ini Sekolah Adat Arus Kualan sudah memiliki empat cabang dan membawa banyak perubahan.
Sekolah Deliana ini mampu menghidupkan kembali pengetahuan tradisional yang telah terlupakan dan terkikis oleh zaman. Dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial, Sekolah Adat Arus Kualan mendokumentasikan pengetahuan para tetua yang diturnkan secara lisan melalui film dokumenter, penulisan, dan penelitian.
"Rasa percaya diri anak-anak terhadap kebudayaan mereka juga meningkat. Sebelumnya, mereka tidak berani tampil di depan umum dan berbicara tentang budaya mereka, ujar Deliana.
Ia juga melakukan advokasi terhadap isu-isu lingkungan, pendidikan, serta hak-hak pemuda dan masyarakat adat. Salah satu media yang digunakan Deliana dalam menyampaikan pesan-pesan positif adalah alat musik khas Dayak, yakni Sape'.
Itu sebabnya, Deliana juga dikenal dengan sebutan Deli Sape'. "Musik sape' memiliki kekuatan besar, karena mewakili suara alam Kalimantan," tuturnya.
Musik sape' mencerminkan hubungan yang erat antara masyarakat adat Dayak dengan alam dan lingkungannya. Melalui melodi dan alunan sape', Deliana dapat menyuarakan keresahan tentang deforestasi hutan Kalimantan, hilangnya hak-hak masyarakat adat, dan ancaman terhadap kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak.