Pendanaan Iklim Tak Kunjung Disepakati Jelang COP29 Berakhir
Proposal pendanaan iklim tak kunjung disepakati di Conferences of Party COP29 di Baku, Azerbaijan. Padahal Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB tersebut dijadwalkan akan berakhir hari ini, Jumat (22/11).
Salah satu target utama COP29 adalah menentukan berapa banyak dana yang harus disumbangkan oleh negara-negara maju untuk membantu negara berkembang mengatasi perubahan iklim. Ini merupakan sebuah langkah penting dalam upaya membatasi kerusakan akibat kenaikan suhu global.
Namun, kesepakatan tentang jumlah dana ikim tersebut berjalan lambat. Draf terbaru teks perundingan tiba beberapa jam terlambat dari jadwal, sementara tenggat waktu penutupan hanya tinggal 48 jam.
Dengan KTT yang diperkirakan akan melampaui batas waktu pada Jumat (22/11), dokumen baru menunjukkan banyak hal yang belum diputuskan terkait isu-isu krusial, seperti apa yang akan dihitung dalam angka tahunan, siapa yang akan membayar, dan berapa banyak.
Komisaris Iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, mendesak lebih banyak kepemimpinan dari Presiden COP29 Azerbaijan yang memegang kendali atas proses negosiasi dalam beberapa hari terakhir.
"Teks yang ada saat ini tidak seimbang, tidak dapat diterapkan, dan tidak dapat diterima," ujar Wopke dikutip Reuters, Jumat (22/11).
Seperti diketahui, dokumen setebal 10 halaman itu dipangkas menjadi kurang dari setengah ukuran versi sebelumnya dengan menghapus beberapa opsi. Hal itu membuat dokumen tersebut menggambarkan posisi berlawanan dari negara-negara maju dan berkembang.
Adapun, salah satu opsi dalam dokumen tersebut menekankan dana dalam bentuk hibah atau setara hibah, dengan kontribusi negara-negara berkembang tidak termasuk dalam target.
Selain itu, opsi lain juga mencerminkan posisi negara-negara maju, mengusulkan untuk memperluas jenis keuangan yang dihitung dalam tujuan tahunan, termasuk kontribusi dari negara lain, bukan hanya hibah dari negara maju.
Kedua opsi ini menghindari menyebutkan jumlah total dana yang akan disalurkan setiap tahun, dengan ruang kosong yang ditandai dengan 'X'.
Adanya persilangan pendapat tersebut membuat Kepresidenan COP29 berjanji bahwa teks yang lebih efisien akan diterbitkan dalam semalam untuk menggantikan 'X' dengan angka, memberikan gambaran mengenai zona kemungkinan kesepakatan.
Pemimpin negosiator COP29, Yalchin Rafiyev, mengajak negara-negara untuk meletakkan semua kartu mereka di atas meja, berbicara pada sesi pleno awal di mana delegasi menyuarakan ketidakpuasan terhadap versi teks saat ini.
Sementara itu, Menteri perubahan iklim dan energi Australia, Chris Bowen, mengatakan proposal gagal menegakkan janji yang dibuat pada KTT Dubai tahun lalu untuk beralih dari bahan bakar fosil, yang dipuji pada saat itu sebagai momen penting.
"Kami membuat kemajuan yang baik tahun lalu, kami harus melanjutkan pekerjaan itu. Dalam teks saat ini, beberapa dari seruan ini disembunyikan, dipangkas atau diminimalkan," ujar Bowen.
"Ini adalah langkah mundur yang besar dan tidak dapat diterima pada saat krisis saat ini," tambahnya.
Menteri Energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, mengatakan kesepakatan Dubai sebagai menu opsi - menunjukkan tidak semua negara akan memilih berhenti menggunakan bahan bakar fosil sebagai jalan pilihan mereka ke depan.
Aktivitas manusia - terutama, pembakaran bahan bakar fosil - telah membantu menaikkan suhu rata-rata jangka panjang planet ini sekitar 1,3 derajat Celcius (2,3 derajat Fahrenheit) sejak zaman pra-industri, mendorong bencana banjir, angin topan, kekeringan, dan gelombang panas ekstrem.
Negara-negara mencari lebih banyak pembiayaan untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi kenaikan suhu global hingga jauh di bawah 2 derajat C, dan idealnya 1,5 derajat C.
Para ilmuwan iklim mengatakan dunia sekarang kemungkinan akan melewati ambang batas yang lebih ambisius itu, di mana dampak iklim yang lebih dahsyat dapat terjadi, pada awal 2030. Di samping keuangan, masa depan bahan bakar fosil adalah inti dari COP29, di mana hal itu telah memicu ketidaksepakatan sejak hari pertama.