Kriminalisasi Masyarakat Adat Makin Marak, RUU Masyarakat Adat Mangkrak 14 Tahun
Diskriminasi dan kriminalisasi masyarakat adat diprediksi akan terus terjadi selama Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat tidak disahkan oleh pemerintah. Pengesahan RUU Masyarakat Adat tersebut sudah 14 tahun tertunda.
Mantan penasihat senior Kepala Staf Presiden (KSP) periode 2019-2024, Manuel Kaisiepo, mengatakan pengakuan masyarakat adat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus diperkuat dengan aturan turunan berupa Undang-undang Masyarakat Adat. Hal itu untuk memastikan dan melindungi hak masyarakat adat seperti pengelolaan lahan dan hutan dari ancaman perampasan lahan.
“Undang-Undang Masyarakat Adat diperlukan sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat, eksistensinya, hak hidupnya, dan kelangsungan kehidupannya,” ujar Manuel dalam keterangan tertulis, Senin (25/11).
Manuel mengatakan, lebih dari satu dekade setelah putusan MK keluar, pemerintah dan DPR justru menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat. Sementara pemerintah daerah sudah ada yang menerbitkan regulasi seperti peraturan daerah (Perda) untuk melindungi masyarakat adat.
Namun, Manuel mengatakan, regulasi daerah tersebut kalah dengan putusan yang lebih tinggi, seperti izin atau keputusan menteri yang memberikan hak pengelolaan hutan ke investor. Manuel berharap kalangan masyarakat sipil dan media bergerak bersama untuk mendorong lahirnya RUU masyarakat adat guna mengakhiri polemik diskriminasi, peminggiran dan perampasan lahan masyarakat adat di Indonesia.
“Kabarnya RUU Masyarakat Adat itu sekarang sudah masuk Prolegnas (program legislasi nasional), tetapi masuk Prolegnas belum tentu dibahas dan disetujui,” ujarnya.
Kriminalisasi Makin Marak
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, mengatakan ketiadaan payung hukum selama ini telah menciptakan ruang yang semakin memperparah ketidakadilan terhadap masyarakat adat. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat semakin masif, dengan banyak kasus penangkapan hanya karena mereka berusaha mempertahankan tanah ulayat atau menjalankan hukum adat.
"Di sisi lain, tanah ulayat yang menjadi sumber kehidupan berbasis adat terus terampas oleh proyek-proyek besar tanpa persetujuan atau konsultasi yang layak, mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat," ujarnya.
Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus, mengatakan tingginya angka kriminalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat diantaranya O Hangana Manyawa dari Maluku Utara, Masyarakat Adat Pocoleok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat Nangahale dari Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat dari Dolok Parmonangan, Sihaporas, Sigala Gala di Tano Batak, Sumatera Utara, Masyarakat Adat di sekitar pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, serta Masyarakat Adat di Papua dan juga di Jawa hingga saat ini masih mengalami pergulatan dengan adanya ancaman pengkriminalisasian secara struktural.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan masyarakat adat juga menghadapi ancaman baru di tengah krisis iklim yang semakin mendesak. Komitmen global yang mengedepankan solusi palsu iklim seringkali menjadi petaka bagi mereka.
"Atas nama iklim, proyek-proyek "hijau" menjadi alat perampasan wilayah adat dan kriminalisasi. Perdagangan karbon, teknikalisaai karbon, transisi energi hanya terus memperpanjang krisis sembari menjadikan wilayah adat sebagai komoditas yang layak untuk dijadikan objek bisnis," ujarnya.
Garda Terdepan Lestarikan Lingkungan
Sementara itu, Konservasi Indonesia (KI) menilai perlindungan terhadap masyarakat adat saat ini yang masih menggantung. Itu tidak sebanding dengan kontribusi besar yang telah diberikan masyarakat adat sebagai garda terdepan dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Senior Papua Program Manager Konservasi Indonesia (KI), Nur Ismu Hidayat, mengatakan banyak kearifan lokal dimiliki masyarakat adat yang sebenarnya terbukti berhasil dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan.
Dia mencontohkan tradisi Sasi yang dimiliki sebagian masyarakat Indonesia Timur. Tradisi Sasi melarang pengambilan hasil hutan atau laut untuk sementara waktu, menjadi bukti praktik konservasi sumber daya alam.
“Sasi itu ibaratnya seperti deposito bank yang semakin lama akan semakin banyak dapatnya (apabila ada jeda pengambilan SDA). Tradisi seperti Sasi telah mencerminkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Artinya, kearifan lokal seringkali lebih adaptif terhadap kebutuhan konservasi dibandingkan pendekatan modern,” ujar Ismu.
Dia menilai perlindungan wilayah yang masuk dalam lingkungan masyarakat hukum adat penting untuk dilindungi karena perannya yang strategis dalam mitigasi krisis iklim. Selain itu, kebanyakan wilayah adat biasanya juga termasuk hutan gambut dan mangrove yang mampu menyimpan karbon tak tergantikan.
“Perlindungan wilayah-wilayah ini tentu saja menjadi kunci dalam mengatasi perubahan iklim,” ujarnya.