Perubahan Iklim Hantam Pasokan Cokelat Dunia, Indonesia Bisa Terdampak


Perubahan iklim yang memicu peningkatan curah hujan tinggi dan panas ekstrem berdampak signifikan terhadap harga bahan baku cokelat di dunia dan berpotensi juga terjadi di Indonesia.
Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah, Wicaksono Gitawan, mengatakan krisis iklim akan berdampak negatif pada industri cokelat di Indonesia di masa depan. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Ghana dan Pantai Gading. Laporan terbaru lembaga nirlaba Christian Aid menyebut perubahan iklim telah menghantam produksi kakao di Ghana dan Pantai Gading, dua negara penghasil kakao terbesar di dunia.
Akibatnya, lonjakan harga kakao hingga mencapai rekor tertinggi sebesar US$ 12.605 per ton pada Desember 2024, dan juga menempatkan masa depan petani kakao dalam risiko yang besar. Harga kakao telah melonjak 400% dalam beberapa tahun terakhir.
“Komoditas cokelat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk Indonesia. Sulawesi Tengah merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia, mencapai 128.154 ton dari keseluruhan 720.660 ton pada tahun 2022,” ujar Wicaksono dalam keterangan tertulis, Jumat (14/2).
Wicaksono mengatakan, negara-negara di dunia termasuk Indonesia, harus mengambil langkah serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, demi kelangsungan industri ini. Ia mengatakan, selain menjadi produsen kakao nomor tiga dunia, Indonesia juga memiliki pasar cokelat nasional yang besar.
“Aksi nyata Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi harus segera didorong, demi menjaga mata pencaharian petani dan produsen coklat nasional serta berjalannya roda perekonomian,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Climate Central “Climate change is heating up West Africa's cocoa belt”, pada 2024, perubahan iklim memperpanjang periode hari dengan suhu tinggi di atas 32°C selama enam pekan di 71% wilayah penghasil kakao di Panyai Gading, Ghana, Kamerun, dan Nigeria — suhu yang terlalu panas untuk penanaman kakao.
Pola curah yang tidak menentu di Afrika Barat selama musim panen juga berdampak buruk pada kakao. Sementara Afrika Barat mendominasi produksi kakao global, Indonesia menempati posisi ketiga dengan 11,4% dari total produksi dunia pada 2022 atau sekitar 667 ribu ton.
Sementara itu, Direktur Operasi Kernow Chocolate, Andy Soden, mengatakan produksi kakao global empat tahun terakhir ini telah terdampak perubahan iklim ekstrem, seperti El Nino dan La Nina. Soden mengatakan, perubahan cuaca yang tak menentu selama siklus penanaman dan panen, telah secara drastis mengurangi produksi kakao.
“Pasokan yang rendah dan permintaan global yang tinggi telah mendorong harga pasar kakao dari yang relatif stabil menjadi lebih dari £10.000 per ton. Bagi produsen kecil seperti kami, ini bisa membuat kami gulung tikar dalam jangka panjang karena harga grosir untuk tahun 2025 hampir melampaui harga eceran kami pada 2023,” ujar Soden.