Latihan Militer Inggris di Kenya Sebabkan Kebakaran Hutan, Harus Bayar Rp 65 M
Latihan militer pasukan Inggris di Kenya mendapat sorotan tajam, karena memicu kebakaran hutan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan luas, mengancam kelangsungan hidup satwa liar, serta berdampak langsung pada kesehatan ribuan warga lokal. Pemerintah Inggris setuju untuk membayar kompensasi US$ 4 juta atau sekitar Rp 65,3 miliar (kurs Rp 16.320/US$) untuk lebih dari 7.700 warga Kenya yang terdampak kebakaran hutan tersebut.
Menurut laporan CNN, pada Maret 2021, kebakaran besar melanda kawasan konservasi Lolldaiga, Kenya Tengah, sebuah kawasan yang dulunya merupakan peternakan pribadi dan kini menjadi habitat berbagai spesies langka.
Api dipicu oleh aktivitas latihan pasukan British Army Training Unit Kenya (BATUK). Dalam sepekan, api melalap lebih dari 10.000 hektare lahan.
Meski api telah padam, warga sekitar Lolldaiga mulai mengalami gangguan pernapasan, kulit terbakar, hingga komplikasi kesehatan yang lebih serius.
Sebagian bahkan mengaku kehilangan anggota keluarga akibat penyakit yang diyakini sebagai efek langsung dari paparan asap dan bahan kimia berbahaya saat kebakaran terjadi.
Warga Lolldaiga telah berulang kali memprotes kehadiran pasukan Inggris. Dalam sebuah pertemuan komunitas pada Juni 2024, banyak warga mengeluhkan gangguan pernapasan, terutama pada anak-anak dan lansia.
“Saya sudah sesak napas sejak kebakaran itu. Saya bergantung pada inhaler dan obat-obatan setiap hari,” ungkap seorang perempuan sambil mengangkat alat bantu napasnya kepada wartawan.
Tak hanya itu, seorang nenek Hannah Wanjiku mengatakan cucu-cucunya kini menderita penyakit paru-paru, dan ia sendiri mengalami sesak napas berkepanjangan. “Kami hidup dalam penderitaan sejak kebakaran itu. Kalau bisa, kami ingin pindah dari sini,” ujarnya.
Kawasan Lolldaiga bukan hanya rumah bagi manusia, tetapi juga bagi ribuan satwa liar termasuk zebra Grevy yang terancam punah, gajah, singa, hingga monyet vervet.
Kebakaran yang melanda kawasan ini dianggap sebagai salah satu insiden lingkungan paling merusak di wilayah tersebut.
Sebuah studi dari konsultan independen menyebut bahwa lahan di kawasan tersebut baru bisa pulih pada tahun 2060, menunjukkan parahnya degradasi ekologis akibat insiden ini.
Kompensasi yang Tak Setimpal
Setelah empat tahun perjuangan hukum, pemerintah Inggris akhirnya menyetujui kompensasi Rp 65,3 miliar kepada lebih dari 7.700 warga yang terdampak. Namun nilai tersebut jauh dari harapan warga.
Mereka hanya menerima 22.000 shilling Kenya (sekitar Rp2,6 juta) per orang, jumlah yang dianggap tidak layak dibandingkan penderitaan yang mereka alami.
Seorang anggota parlemen lokal bahkan menyebut kompensasi itu sebagai “hampir tidak berarti” dan menyerukan agar pengadilan Kenya lebih berani melindungi hak-hak rakyatnya dari dominasi asing.
Kelvin Kubai, pengacara muda yang menggagas gugatan tersebut, menyebut bahwa latihan militer dan konservasi alam adalah dua hal yang tidak bisa berjalan berdampingan. Ia menegaskan pentingnya menghentikan pelatihan militer di kawasan berisiko tinggi secara ekologis dan padat penduduk.
Latihan militer Inggris di Kenya bukanlah hal baru. Setiap tahunnya, pemerintah Inggris membayar sekitar US$ 400.000 atau Rp 6,53 miliar kepada Kenya untuk mengizinkan pelatihan militer di wilayah tersebut.
Namun sejak dulu, keberadaan mereka selalu diiringi kontroversi mulai dari tuduhan pencemaran lingkungan, pelanggaran HAM, hingga kasus kekerasan seksual yang belum banyak terselesaikan.
Pemerintah Inggris menyebut insiden kebakaran tersebut sebagai “sangat disayangkan” dan menyatakan telah menyelesaikan gugatan secara damai, namun menolak bertanggung jawab secara hukum atas kejadian itu.
