Kesetaraan Gender di Industri Perkebunan Masih Menantang
Implementasi kesetaraan gender di sejumlah sektor industri seperti pertambangan dan perkebunan dinilai masih menjadi tantangan.
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerement (IBCWE) Wita Krisanti mengatakan kesetaraan gender berbasis rasio jumlah pekerja bisa mengecoh. Ia mencontohkan di sektor manufaktur misalnya, banyak melibatkan perempuan tetapi sebagian besar pekerja pabrik. Sementara posisi-posisi kunci masih diisi laki-laki.
“Di perkebunan dan pertambangan, masih ada tugas-tugas yang dianggap penugasan laki-laki. Masih ada perspektif misalnya bahwa perempuan tidak bisa panas-panasan,” katanya dalam salah satu panel diskusi Katadata Sustainable Action for the Future Economy (SAFE) 2025, Kamis (11/9).
Menanggapi hal tersebut, Vice President PT Astra Agro Lestari Tbk Susila Darma Wati mengakui masih ada bias gender yang tinggi di sektor perkebunan. Pihaknya pun mendorong kesetaraan gender sebagai salah satu komitmen envioronmental, social, and governance (ESG).
“Bisnis perkebunan ini mirip pertambangan, didominasi oleh laki-laki,” katanya dalam diskusi yang sama.
Anak usaha Astra International ini mendorong kebijakan keterlibatan perempuan, mulai dari ranah kebun hingga pucuk kepemimpinan perusahaan. “Di kebun misalnya, sekarang kepala mandor kita sudah ada perempuan. Kepala mesin juga ada yang perempuan. Dulu tidak ada sama sekali,” kata Susila.
Untuk diketahui, Astra Agro Lestari adalah salah satu perusahaan penerima penghargaan Katadata ESG Index Awards 2025 untuk sektor perkebunan. Salah satu penilaiannya adalah aspek kesetaraan gender.
Katadata Insight Center bekerja sama dengan Indonesia Business Coalition for Women Empowerement (IBCWE) dan Investing in Women merinci sejumlah indikator kesetaraan gender untuk dijadikan penilaian.
Mulai dari ada tidaknya pencengahan dan penanganan pelecehan berbasis gender, kesetaraan upah, komposisi gender tenaga kerja, penyediaan fasilitas ruang menyusui, cuti pengasuhan, sistem kerja fleksibel, hingga inklusivitas dalam tingkat kepemimpinan.
Berdasarkan penilaian yang dihimpun, perusahaan-perusahaan sektor perkebunan menempati posisi ketiga dengan skor kesetaraan gender tertinggi setelah sektor energi dan perbankan. Namun secara keseluruhan, skor kesetaraan gender ini tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan aspek penilaian ESG lainnya.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti bisnis dan hak asasi manusia Unang Mulkham juga menyoroti banyaknya perusahaan yang masih menerapkan aspek kesetaraan gender hanya berdasarkan rasio jumlah pekerja.
“Perusahaan perlu untuk melihat kesetaraan gender tidak hanya dari segi kuantitatif atau rasio. Tetapi juga memperhatikan bagaimana menciptakan lingkungan kerja dan sistem kerja yang layak untuk perempuan,” kata Unang.
