Pidato Prabowo di PBB Dinilai Tidak Menyentuh Akar Persoalan Krisis Iklim
Pidato perdana Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB menekankan ambisi Indonesia menjadi aktor global untuk hadapi krisis iklim dan krisis pangan. Hal ini termasuk klaim swasembada beras, komitmen reforestasi 12 juta hektare lahan terdegradasi, pembangunan tanggul laut sepanjang 480 kilometer, serta target nol emisi 2060 atau lebih cepat.
Namun, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, menilai penyelesaian krisis iklim di Indonesia cenderung tidak menyentuh akar persoalan.
“Mengapa cara pandangnya langsung lompat ke solusi teknis dan tidak menelaah akar masalah tentang pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati,” kata Nadia, dalam keterangan pers, dikutip Kamis (25/9).
Menurutnya, Indonesia perlu menekankan ekonomi restoratif untuk memulihkan dan meregenerasi lingkungan. Sekaligus memperkuat keadilan sosial. Fokus target pertumbuhan ekonomi 8%, justru cenderung mengorbankan hutan dan keanekaragaman hayati.
Merujuk pada riset CELIOS pada 2024, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Sebanyak 56% kekayaan tersebut bersumber dari sektor ekstraktif.
“Jadi siapa sebenarnya yang menikmati hasil ekonomi ini?" tambah Nadia.
Peneliti CELIOS Jaya Darmawan, menambahkan sektor pertanian saat ini tercekik, tak relevan dengan pernyataan swasembada beras Presiden Prabowo.
Luas sawah di Indonesia menyusut dari 10,21 juta hektare pada 2023, menjadi 10,05 juta hektare pada 2024. Hasil panen juga menurun dari 53,98 juta ton menjadi 53,14 juta ton.
“Realitanya, sawah berkurang dan harga beras dalam negeri terus melambung,” kata Jaya.
Di Jayapura dan Merauke, harga beras rata-rata per bulan konsisten naik, bahkan menyentuh Rp 18.000/kg. Angka ini lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET), untuk beras medium Rp 14.365/kg maupun beras premium Rp 16.169/kg.
Target Energi Terbarukan Tak Konsisten
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Saffanah Azzahra, menyoroti target energi terbarukan Indonesia yang justru menurun. Dalam Kebijakan Energi Nasional terbaru, porsi energi bersih pada 2030 hanya 19–23%, lebih rendah dibanding target sebelumnya.
“Dengan dominasi energi fosil 79% pada 2030, mustahil kita memenuhi target Perjanjian Paris,” ujar Saffa.
Ia juga menyoroti teknologi co-firing yang sering disebut mampu menurunkan emisi dari PLTU batu bara. Co-firing adalah teknologi pembakaran dua jenis bahan bakar yang berbeda secara bersamaan dalam satu sistem yang sama untuk mengurangi emisi yang dihasilkan.
”Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia, bahan bakar co-firing 52 PLTU, sesuai dengan ambisi PLN pada tahun 2025, itu menciptakan deforestasi 4,65 juta hektar,” ujarnya.
Dari sisi hak asasi manusia, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai janji Prabowo menjaga perdamaian dunia hanya sebatas retorika.
“Kalau Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Pengungsi, kecaman genosida di Gaza hanya pepesan kosong,” ujar Usman.
Usman juga mengingatkan komitmen HAM tak bisa dipisahkan dari situasi di dalam negeri, termasuk penahanan aktivis pasca demonstrasi Agustus 2025. “Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan,” katanya.
