Riset: Gen Z Sadar Krisis Iklim, tapi Kecewa pada Penanganan Pemerintah
Hasil riset terbaru mengungkapkan, generasi Z kini telah memiliki tingkat kesadaran serta kekecewaan yang tinggi terhadap penanganan krisis iklim di Indonesia.
Riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan bahwa anak muda sadar bahwa apa yang mereka rasakan saat ini adalah dampak perubahan iklim. Namun, sebagian besar masih memandang krisis iklim sebatas cuaca ekstrem (95,5%).
"Dampak krisis iklim itu sangat kompleks, termasuk pada kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga kerusakan infrastruktur akibat bencana seperti banjir dan rob," ujar Campaign & Communication Staff Climate Rangers, Febriani Nainggolan, dikutip dari pernyataan resmi, Rabu (29/10).
la menambahkan, anak yang lahir pada tahun 2020 akan mengalami dampak krisis iklim yang jauh lebih parah dibandingkan generasi kakeknya. Mereka mengalami gelombang panas tujuh kali lebih banyak, kekeringan tiga kali lebih sering, dan banjir besar dua kali lebih intens.
Menurut Febri, tanggung jawab terbesar dalam menghadapi krisis iklim berada di tangan pemerintah. Namun, 62,4% responden merasa bahwa pelibatan orang muda oleh pemerintah masih bersifat tokenisme atau sekadar formalitas tanpa makna.
"Orang muda sering hanya diundang secara simbolis, bukan untuk benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal kitalah yang paling merasakan dampaknya," tegas Febri.
Senada, Co-Founder Kawula17, Dian Irawati juga mengungkapkan hasil riset yang dilakukan oleh lembaganya. Dalam survei publik pada kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden, kata dian, ada dua isu utama yang disoroti oleh masyarakat, yakni inefisiensi pengelolaan sampah 33% dan kerusakan lingkungan akibat tambang 32%.
Meningkatnya perhatian terhadap isu-isu ini didorong oleh maraknya publikasi terkait hal-hal yang merusak alam Indonesia, seperti kasus di Raja Ampat yang memicu kampanye #SaveRajaAmpat, serta isu perampasan hutan adat (26%) yang turut mengemuka lewat kampanye #SavePulauPadar.
"Tren ini menunjukkan, dalam dua tahun terakhir kesadaran publik semakin kuat terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan di Indonesia," kata Dian.
Menurut Dian, survei terpisah terhadap 1.342 responden muda menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat aktivisme. "Sebanyak 42% tergolong participant - naik dari yang sebelumnya hanya spectator - dan 35% activist. Artinya, semakin banyak anak muda yang tertarik dan terlibat dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi," ujar Dian.
Namun, Dian menyoroti bahwa anak muda sering dipandang sebagai beban, bukan pihak yang rentan dan harus dilindungi. "Padahal, anak muda adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sudah seharusya mereka dilibatkan sebagai aktor karena ini menyangkut masa depan mereka," ujarnya.
Untuk mengatasi krisis iklim, Febri melanjutkan, dunia sudah menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan suhu global di bawah 1,5°C dibandingkan tingkat pra-industri. Sayangnya saat ini suhu telah meningkat 1,3°C. Bahkan dalam skenario paling optimistis, kenaikan diperkirakan mencapai 1,9°C, melampaui ambang batas aman.
"Kebijakan iklim Indonesia mash belum cukup ambisius. Emisi tetap meningkat, bahkan dengan bantuan sektor kehutanan," ujar Febri.
Dian mengatakan, melalui jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, anak muda Indonesia menyampaikan sejumlah tuntutan untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Untuk dunia, Climate Rangers menuntut kebijakan iklim yang adil dan ambisius, transisi berkeadilan, keadilan finansial dan pertanggungjawaban historis, serta partisipasi bermakna orang muda.
Sedangkan untuk Pemerintah Indonesia, Climate Rangers menuntut pengesahan kebijakan berkeadilan iklim, penghentian solusi palsu, percepatan transisi energi berkeadilan, pendanaan solusi rakyat, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan lingkungan.
